Hukum Keluarga Di Tunisia
Jejak Pendidikan- Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) yaitu muslim Sunni, negara yang terletak di Afrika Utara, sebelah barat berbatasan dengan Mediterania dan selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk tempat timur, sementara di belahan tenggara termasuk kepulauan Djerba.
berikut kami akan menjelaskan perihal aturan keluarga di Tunisia, diantaranya kami akan menjelaskan perihal pembentukan aturan keluarga, aturan pernikahan, perceraian, warisan dan hak asuh anak.
1. Pembentukan Hukum Keluarga di Tunisia
Pada tahun 1956 sesudah Tunisia memperoleh kemerdekaannya, melalui Presiden Habib Bourgubia negara tersebut mengeluarkan aturan-aturan yang kontroversial yang dikenal dengan “The Tunisian Code of Personal Status” untuk menggantikan aturan al-Qur’an dalam bidang perkawinan, perceraian dan hadanah. Aturan-aturan gres ini tidak hanya menentang beberapa praktek muslim tradisional bahkan menyatakan konfrontasi dengannya.
Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi aturan keluarga Tunisia tersebut berawal dari adanya aliran dari sejumlah hebat aturan terkemuka Tunisia yang berfikir bahwa dengan melaksanakan fusi terhadap mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan aturan gres mengenai aturan keluarga sanggup dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan Tunisia. Sejumlah hebat aturan Tunisia kemudian mengajukan catatan perbandingan antara dua system aturan Hanafi dan Maliki yang kemudian dipublikasikan dengan judul Laihat Majjalat al-Ahkam alsyar’iyyah (Draft Undang-undang Hukum Islam). Pada hasilnya pemerintah Tunisia membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh Islam Muhammad Ja’it untuk merancang undang-undang secara resmi.[1]
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang gres yang merupakan modifikasi dari undang-undang keluarga tahun 1956. Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari komite yang terdiri dari hebat hukum, yaitu pengacara, hakim, dan pengajar aturan yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini berdasarkan pada interpretasi bebas terhadap aturan syari’ah yang bekerjasama dengan hak-hak keluarga.[2]
2. Hukum Pernikahan dan Perceraian
a. Usia pernikahan
Laki-laki dan perempuan di Tunisia sanggup melaksanakan ijab kabul kalau telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956, sebelum dirubah, ketentuan usia nikah yaitu 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Dengan ketentuan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20 tahun untuk boleh melangsungkan perkawinan, bagi perempuan yang berusia 17 harus mendapat izin dari walinya.
Jika wali tidak menunjukkan izin, kasus tersebut sanggup diputuskan di pengadilan. Pada tahun 1981, ketentuan pasal ini menjelma Usia minimum ijab kabul yaitu 20 untuk laki-laki dan 17 untuk wanita. Pernikahan di bawah usia ini membutuhkan izin khusus dari pengadilan, yang sanggup diberikan hanya untuk alasan mendesak dan atas dasar dari kepentingan yang terperinci atau manfaat yang akan direalisasikan oleh kedua pasangan dengan pernikahan. Pernikahan di anak-anak memerlukan persetujuan dari wali, kalau wali menolak menunjukkan izin padahal kedua belah pihak berhasrat melaksanakan pernikahan, kasus tersebut sanggup dipurtuskan di pengadilan. Ketentuan ini merupakan langkah maju kalau dilihat dari ketentuan-ketentuan dalam kitab fiqh mazhab Maliki, alasannya di dalam kitab fiqh Maliki tidak ada batasan mengenai usia penikahan.
b. Poligami
Dalam pasal 18 Undang-Undang aturan keluarga di tunisia menyatakan:
1. Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, kemudian menikah lagi, akan dikenakan eksekusi penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.
2. Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3 Tahun 1957 yang bekerjasama dengan aturan sipil dan kontrak ijab kabul kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan eksekusi yang sama.
3. Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman, berdasarkan ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan eksekusi yang sama.
Undang-Undang di atas secara tegas memutuskan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon memiliki landasan aturan pada ayat Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki wajib menikah dengan seorang istri kalau ia yakin tidak bisa berbuat adil kepada istri-istrinya yaitu dalam surat an-Nisa ayat 3:
Artinya:Dan kalau kau takut tidak akan sanggup Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kau senangi : dua, tiga atau empat. kemudian kalau kau takut tidak akan sanggup Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. yang demikian itu yaitu lebih bersahabat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S. an-Nisa [4] : 3).
Dengan demikian, idealnya al-Quran yaitu monogami, lebih dari itu syarat yang diajukan biar suami berlaku adil terhapad istri-istrinya, hal menyerupai ini yaitu suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan mustahil sanggup terealilasi sepenuhnya.
c. Perjanjian perkawinan.
Undang-Undang tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-syart (perjanjian perkawinan). Jika ada isi perjanjian yang terlanggar, pihak yang di rugikan atas pelanggaran perjanjian tersebut sanggup mengajukan tuntutan pembubaran perkawinan. Perjanjian tersebut tidak bisa melahirkan hak ganti rugi kalau hal tersebut terjadisebelum perkawinan terealisasi secara sempurna.
d. Pernikahan yang tidak sah
Pernikahan yang dipandang tidak sah berdasarkan Undang-Undang aturan keluarga di tunisia adalah:
1. Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar perkawinan (pasal 21)
2. Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami atau istri (pasal 3).
3. Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan aturan yang lain (pasal 5).
4. Perkawinan yang di dalamnya terdapat alangan untuk melangsungkan perkawinan (pasal 15-17).
5. Menikah dengan perempuan yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
Pernikahan menyerupai di atas sanggup segera dianulir. Akibat aturan yang lahir, kalau perkawinan memang telah berlangsung tepat (ba’da ad dukhul), yaitu bahwa istri berhak atas mahar dan kewajiban menjalani masa iddah. Sedangkan apabila perceraian terjadi sebelum dukhul, istri berhak terhadap mahar. Anak yang lahir sanggup disandarkan nasabnya kepada suami, akan tetapi tidak bekerjasama dengan harta warisan antara dua pihak tersebut.
e. Perceraian
Perceraian yaitu hal yang ketat dalam aturan di tunisia, perceraian yang di jatuhkan secara sepihak tidak tidak berdampak jatuhnya talak, perceraian yang sah dan efektif hanya diputuskan di pengadilan.
Pengadilan sanggup menunjukkan perceraian berdasarkan:
1) kesepakatan dari pasangan
2) petisi dari salah satu pasangan dengan alasan cedera yang disebabkan oleh yang lain.
Pengadilan juga sanggup memutuskan perceraian apabila salah satu pihak bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak yang mengajukan somasi perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak yang lain. Keputusan perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian pasangan suami istri tersebut gagal.
f. Talak tiga.
Pasal 19 UU 1954 tunisia menyatakan bahwa seorang laki-laki dihentikan merujuk bekas istri yang telah di talak tiga (talak bain kubro). Sebelumnya, pasal 14 menyebutkan talak tiga menjadi halangan yang bersifat permanen untuk pernikahan.
g. Nafkah bagi isteri.
Undang-undang aturan keluarga tunisia menerapkan prinsip-prinsip mazhab maliki dalam hal hak istri untuk mendapat nafkah dari suaminya. Hal ini secara rinci di atur dalam pasal 37-42. Lebih jauh, pasal 41 menyatakan bahwa isteri diizinkan membelanjakan harta pribadinya yang dipakai sebagai biaya hidup dengan untuk diminta ganti dari suami. Adapun besarnya jumlah nafkah tergantung kemampuan suami dan status istri, serta biaya hidup yang masuk akal pada ketika itu (pasal 52).
Fiqih mazhab maliki yang banyak menjadi sumber rumusan undang-undang tunisia menyatakan bahwa nafkah wajib dibayar suami kalau telah terjadi dukhul dan suami telah baliq. Pandangan ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat imam Syafi’i yang tidak mensyaratkan suami harus baliq.
h. Pemeliharaan anak.
Pasal 54-57 UU 1956 Tunisia secara rinci mengatur hak dan kewajiban orang renta dan para wali terhadap pemeliharaan anak. Ketentuan perihal pemeliharaan anak secara umum bersumber dari prinsip-prinsip mazhab maliki, dalam fiqh mazhab maliki dinyatakan bahwa kalau seorang laki-laki mentalaq istrinya, pemeliharaan anak menjadi hak ibu dengan alasan seorang ibu lebih besar kasih sayangnya dan memahami kemaslahatan dan kebutuhan anak dari pada ayah atau keluarga yang lain. Formulasi fiqh juga menyatakan bahwa hak hadanah menjadi terputus apabila ibu melangsungkan pernikahan, alasannya ada prediksi bahwa ibu akan lalai dalam mengasuh anak, yang mengakibatkan anaktidak sanggup hidup dengan tenang dan sejahtera. Adapun apabila ibu meninggal maka hak asuh anak berpindah ke nenek dari garis ibu asalkan kakek merupakan kakek secara pribadi dari abak tersebut.
Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun 1981, menyatakan bahwa kalau orang renta yang berhak mengasuh anak mkan kedua orangeninggal dunia sedangkan sebelumnya perkawinan telah bubar, hak hadanah tersebut berpindah kepada orang renta yang masih hidup. Sedangkan apabila ijab kabul bubar sedangkan kedua belak pihak masih hidup, hak pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak atau boleh tiga diserahkan kepada pihak ketiga. Selanjutnya, pengadilan sanggup memutuskan batas waktu pemeliharaan anak dengan memperhatikan sepenuhnya kepada kondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkn dalam fiqh dinyatakan bahwa berakhirnya hadanah yaitu kalau anak laki-laki sudah mencapai usia baliq dan anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbeda dengan pendapat mazhab syafi’i yang menyatakan bahwa anak perempuan putus atau berakhir masa hadanahnya ketika ia sudah baliq.
3. Hukum Waris.
Berkaitan dengan duduk kasus warisan, di Tunisia secara umum hanya melaksanakan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan aturan mazhab Maliki. Akan tetapi ada beberapa hal terdapat perbedaan ketentuan dengan mazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan pada pendapat-pendapat pakar aturan dari mazhab lain. Sebagai teladan yaitu pasal 88 yang menyatakan bahwa spesialis waris yang dengan sengaja mengakibatkan ajal pewaris, baik sebagai pelaku utama atau hanya pendukung saja, atau mengungkapkan kesaksian palsu terhadap ajal pewaris, orang tersebut tidak berhak mendapat warisan dari armarhum.
4. Hukum Wasiat
a. Perbedaan agama dan kewarganegaraan.
Diantara ketentuan aturan wasiat yang menonjol yaitu perihal sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama. Demikian pula dipandang sah wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan berbeda (pasal 174-175). Sedangkan bukti terjadinya wasiat harus berupa bukti tertulis yang bertanggal dan ditandatangani pihak yang berwasiat, sehingga bukti oral dipandang tidak cukup sebagai alat bukti (pasal 176).
b. Wasiat wajibah.
Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan oleh UU waris Mesir pada tahun 1946 dengan menciptakan ketentuan aturan perihal kewajiban adanya wasiat bagi cucu yang yatim dari pewaris. Hal ini kemudian diikutinoleh Syiria dan Tunisia. Dalam Undang-Undang Tunisia, ketentuan perihal wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki maupun perempuan (pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat belahan dua kali lebih besar dari belahan cucu perempuan.
[1]Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Prenada Mulia, 2003), cet. I, hal 225.
[2] John L Posite, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam, terj. (Bandung : Mizan), cet. I, 2001, hal. 48.
Posting Komentar untuk "Hukum Keluarga Di Tunisia"