Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bayi Tabung

jejak pendidikan- BAYI TABUNG
Pengertian Inseminasi dan Bayi Tabung
Pengertian inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya buatan atau tiriuan, sedangkan inteminasion  berasal dari bahasa latin, inseminates artinya pemasukan atau penyampaian. Dalam kamus, Artificial insemination yaitu penghamilan/pembuahan sementara. Dalam bahasa arab disebut talqiihushshina’I  (تلقيح الصهناعي ) ibarat terdapat dalam kitap al-Fatawa karangan Mahmud Syaltut.
Makara yang dimksud dengan inseminasi yaitu penghamilan buatan yang dilakukan terhadap seorang perempuan yang tanpa melalui cara yang alami, melainkan dengan cara memasukkan sperma  laki-laki ke dalam rahim perempuan tersebut dengan pertolongan dokter. Istilah lain yang semakna yaitu kawin suntik, penghamilan buatan dan permainann buatan.
Kemudian yang dimkasud dengan bayi tabung ( tets tube baby)  yang kita kenal yaitu bayi yang didapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim sehingga terjadi embrio tidak secara alamiah, melainkan dengan pinjaman ilmu kedokteran. 

Hukum Inseminasi dan Bayi Tabung
Sejalan dengan perkembangan Iptek Kedoteran yang canggih remaja ini, maka inseminasi buatan pada insan juga mengalami perkembangan yang pesat, sehingga kalau ditangani oleh orang-orang yang tidak beriman dan bertakwa dikhwatirkan sanggup merusak peradaban umat manusia, bias merusak nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa serta akibta-akibat negative lain yang tidak terbayangkan oleh kita sekarang. Sebab apa yang sanggup dihasilkan oleh teknologi belum tentu sanggup diterima baik oleh agama, etika dan aturan yang ada dalam masyarakat.
Inseminasi buatan dilihat dari asal sperma yang digunakan sanggup di bagi menjadi dua yaitu:
Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH ( Artifilacial Inseminasi Husband)
Inseminasi buatan bukan dengan sperma suami atau lazim disebut donor, di singkat AID (Artificialinsemination Donor)
Untuk inseminasi buatan pada insan dengan sperma suami sendiri, baik dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntik  ke dalam vagina atau uteru istri, maupaun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim (bayi tabung), maka hal ini diperbolehkan asal keadaan suami dan istri-istri tersebut benar-benar membutuhkan untuk memperoleh keturunan. Hal ini telah disepakati oleh para ulama.
Diantaranya, berdasarkan Mahmud Syaltut bahwa bila penghamilan itu memakai air mani si suami untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh aturan syariat yand diikuti oleh masyarakat yang beradap. Lebih lanjut dia katakana….. “ dan tidak menimbulkan dosa dan noda.” Disamping  itu tindakan yang demikian sanggup dijadikan sebagai suatu cara untuk memperoleh anak yang sah berdasarkan syariat yang terperinci ibu bapaknya.
Alasan lain dibolehkan inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri, lantaran berafiliasi ada kelainann perangkat dalam diri si istri maupun suami atau lantaran si suami telah kehabisan suaminy yang telah disumbangkan kepada bank sperma saat dia masih subur. Terlepas dari itu semua, asal inseminasi itu dilakukan suami yang sah, hal itu dibolehkan, sehingga anak yang lahir yaitu anak yang sah dan terperinci ibu bapaknya.
Makara para prinsipnya dibolehkan inseminasi itu bila keadaannya benar-benar memaksa pasangan itu untuk melakukannya dan bila tidak akan mengancam keutuhan rumah tangganya (terjadi perceraian) sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh :
الجاجة تنزلمنزلة الضرورة
“ hajat itu (keperluan yang sangat penting diberlakukan ibarat keadaan darurat)”
Demikian juga pendapat Yusur Al-Qardlawi: “ Apabila pengcangkokan yang dilakukan itu bukan air mani suami, maka tidak diragukan lagi yaitu suatu kejahatan yang sangat jelek sekali, dan suatu perbuatan munkar yang lebih hebat daripada pengangkatan anak.”
Inseminasi buatan dengan memakai sperma donor para ulama mengharamkannya, ibarat pendapat Yusuf Al-Qardlawi katanya:….. “ Islam juga mengharamkan apa yng disebut pencangkokan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkokan itu bukan dari sperma suami….”
Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Mahmud Syaltut bahwa …. “ sesudah ditinjau dari beberapa segi penghamilan buatan yaitu pelanggaran yang tercela dan dosa yang besar. Perbuatan itu staraf dengana zina, dan jadinya pun sama pula, yaitu memasukkan mani orang asinga ke dalam rahim perempuan yang antara kedua orang tersebut tidak ada hubungan nikah secara syara’, yang dilindungi aturan syara’.”
Insenminasi buatan ini semenjak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan islam, baik ditingkat nasional maupun internasional. Misalnya majelis  Tarjih Muhammadiyah dalam muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun1986 mengaharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari istri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, lantaran dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan umat manusia. Mantan ketua IDI, dr. Kartono Muhammad, juga pernah melempar masalh inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia sanggup memahami dan mendapatkan bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovum berasal dari suami-istri sendiri.
Selain itu ada beberapa pendapat dari para ulama lain mengenai inseminasi, diantaranya : 
Menurut MUI
Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sebagai berikut :
1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh), lantaran hak ini termasuk ikhiar berdasarkan kaidahkaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya haram, lantaran hal ini akan menimbulkan duduk masalah yang rumit dalam kaitannya dengan duduk masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang memiliki ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram, lantaran hal ini akan menimbulkan duduk masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna suami isteri yang sah hukumnya haram, lantaran itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar kesepakatan nikah yang sah (zina), yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) juga telah memutuskan fatwa terkait duduk masalah ini dalam lembaga Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta pada 1981. Ada tiga keputusan yang ditetapkan ulama NU terkait duduk masalah bayi tabung:
Apabila mani yang ditabung dan dimasukan ke dalam rahim perempuan tersebut ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar sesudah   syirik dalam pandangan Allah SWT, dibandingkan perbuatan seorang lelaki yang meletakkan spermanya (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya.”
 Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. “Mani muhtaram yaitu mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dihentikan oleh syara’,” papar ulama NU dalam fatwa itu.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar aturan dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal tersebut diperbolehkan, lantaran istri memang kawasan atau wahana yang diperbolehkan untuk bersenang-senang.”
 Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri dan cara mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri, maka aturan bayi tabung menjadi mubah (boleh).

Ulama Saudi Arabia
Menurut salah satu putusan Fatwa Ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi tabung. Karena praktek tersebut akan mengakibatkan terbukanya aurat, tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang disuntikkan ke rahim perempuan tersebut yaitu mani suaminya. Menurut pendapat saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, lantaran Dia-lah yang berfirman dalam kitab-Nya:
             
Artinya: “Atau dia menganugerahkan kedua jenis pria dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan dia menjadikan mandul siapa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syu’ara)
Majelis Mujamma’ Fiqih Islami
Majelis Mujamma’ Fiqih Islami ini memutuskan sebagai berikut:
 Lima masalah berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, lantaran sanggup mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang renta serta perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.
1. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur pihak perempuan yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Indung telur yang diambil dari pihak perempuan disemaikan kepada sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim perempuan lain yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
4.  Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan perempuan lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
5.  Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.
 Dua masalah berikut ini boleh dilakukan jikalau memang sangat diharapkan dan sesudah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
1. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam jalan masuk rahim istrinya atau eksklusif ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.
Secara umum beberapa masalah yang sangat perlu diperhatikan dalam duduk masalah ini yaitu aurat vital si perempuan harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah doktrin di rumah-rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya operasi tersebut berhasil demi mendapatkan bahan dunia. Oleh lantaran itu dalam melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat.
Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Syaikh Nashiruddin Al-Albani sebagai tokoh hebat sunnah wal jamaah beropini lain, dia beropini sebagai berikut : “Tidak boleh, lantaran proses pengambilan mani (sel telur wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat aurat perempuan lain. Dan melihat aurat perempuan lain (bukan istri sendiri) hukumnya yaitu haram berdasarkan pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan darurat.
Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini. Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami perempuan tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan perilaku taklid terhadap peradaban orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam masalah yang mereka minati atau (sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara ini untuk mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin untuk mencari rizki berupa perjuangan dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal) dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).
Ulama di Malaysia
Ulama di Malaysia yang tergabung dalam Jabatan Kemajuan Islam Malaysia memberi fatwa perihal bayi tabung yang menghasilkan keputusan sebagai berikut:
Keputusan pertama diantaranya:
a.  Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” yaitu sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu yaitu tidak sah.
b. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak mendapatkan harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c. Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat.
Keputusan kedua diantaranya:
a. Bayi Tabung Uji dari benih suami isteri yang dicantumkan secara “terhormat” yaitu sah di sisi Islam. Sebaliknya benih yang diambil dari bukan suami isteri yang sah bayi tabung itu yaitu tidak sah.
b. Bayi yang dilahirkan melalui tabung uji itu boleh menjadi wali dan berhak mendapatkan harta pesaka dari keluarga yang berhak.
c. Sekiranya benih dari suami atau isteri yang dikeluarkan dengan cara yang tidak bertentangan dengan Islam, maka ianya dikira sebagai cara terhormat. 
Dengan demikian jikalau upaya pengobatan untuk mengusahakan pembuahan dan kelahiran alami telah dilakukan dan ternyata tidak berhasil, maka dimungkinkan untuk mengusahakan terjadinya pembuahan di luar tenpatnya yang alami. Kemudian sel telur yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dikembalikan ke tempatnya yang alami di dalam rahim isteri supaya terjadi kehamilan alami. Proses ini dibolehkan oleh Islam, lantaran berobat hukumnya sunnah (mandub) dan di samping itu proses tersebut akan sanggup mewujudkan apa yang disunnahkan oleh Islam, yaitu terjadinya kelahiran dan berbanyak anak.
Pada dasarnya, upaya untuk mengusahakan terjadinya pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditempuh, kecuali sesudah mustahil lagi mengusahakan terjadinya pembuahan alami dalam rahim isteri, antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya.
Dalam proses pembuahan buatan dalam cawan untuk menghasilkan kelahiran tersebut, disyaratkan sel sperma harus milik suami dan sel telur harus milik isteri. Dan sel telur isteri yang telah terbuahi oleh sel sperma suami dalam cawan, harus diletakkan pada rahim isteri.
Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother). Begitu  pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Demikian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh aturan Islam, lantaran akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab, yang telah diharamkan oleh fatwa Islam.

Ketiga bentuk proses di atas ibarat dengan kehamilan dan kelahiran melalui perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam vagina. Oleh lantaran itu pria dan perempuan yang menjalani proses tersebut tidak dijatuhi hukuman bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi hukuman berupa ta’zir, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim (qadli).





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas kesimpulan aturan dari inseminasi dan bayi tabung berdasarkan aturan Islam adalah:
Insenminasi buatan dengan sperma suami sendiri itu dibolehkan
Insenminasi buatan dengan sperma donor yaitu haram hukumnya.

Saran
Diharapkan kepada umat muslim untuk mengkaji kembali hukum-hukum yang bersangkutan dengan masalah-masalah kontemporer, salah satunya duduk masalah aturan bayi tabung.
Diharapkan kepada umat muslim yang ingin melaksanakan pembuatan bayi tabung hendaknya melihat kembali alasan yang memperboleh melaksanakan hal demikian.

Posting Komentar untuk "Bayi Tabung"