Kredit
- KREDIT
Jual beli kredit merupakan suatu prosedur jual beli, yaitu jual beli dengan cara harga barang dibayarkan secara terencana dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam jual beli kredit, penjual harus menyerahkan barang secara kontan, sedangkan pembeli membayar harga barang secara sedikit demi sedikit dalam jumlah dan jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Harga yang disepakati dalam jual beli kredit yang lazim berlaku yaitu harga jual lebih tinggi dari harga pasar yang sesungguhnya kalau barang tersebut dibayar secara tunai, lantaran ada kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dengan lantaran adanya penambahan jangka waktu pembayaran.
Ketentuan-ketentuan dalam jual beli kredit antara lain adalah:
1. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli ihwal harga kredit dan jangka waktu pembayaran.
2. Penjual dan pembeli harus memilih janji jual beli dari prosedur yang ditawarkan, yaitu tunai atau kredit.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا. [رواه الترمذي وأبو داود والبيهقي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa menjual dua transaksi dalam satu transaksi, maka baginya kerugiannya atau riba”. [HR. at-Tirmidzi, Abu Dawud dan al-Baihaqi]
Ulama menafsirkan, yang dimaksud dengan “dua janji dalam satu transaksi”, misalnya, seseorang berkata: “Aku jual sepeda motor ini, tunai seharga Rp 12.000.000,- kredit Rp 15.000.000,-”, lalu keduanya berpisah dari majelis janji tanpa ada kesepakatan pembelian, tunai atau kredit. Maka janji jual beli ini batal adanya. Adapun ketika pembeli memilih satu pilihan dari dua opsi yang ditawarkan, maka jual beli itu sah, dan berlaku atas harga yang disepakati.
3. Ketentuan jual beli kredit dalam syara’ hanya ada dua pihak yang terkait, yakni pihak yang memperlihatkan kredit (penjual) dan yang mendapatkan kredit (pembeli). Dengan demikian, jual beli kredit yang di dalamnya terdapat tiga pihak yang terkait, yakni pembeli, lising (bank) dan penjual tidak diperbolehkan oleh syara’. Misalnya, seorang pembeli tiba kepada dealer sepeda motor (penjual) untuk membeli sebuah sepeda motor secara kredit, lalu keduanya bersepakat bahwa pembelian dilakukan secara kredit dengan jumlah dan jangka waktu tertentu. Tetapi ternyata lising (bank) melunasi terlebih dahulu pada dealer. Maka, sesungguhnya yang terjadi yaitu pembeli membayar cicilan kepada pihak lising (bank), bukan pada penjual. Hal yang demikian bukanlah transaksi jual beli kredit, tetapi transaksi hutang piutang yang di larang oleh syara’.
4. Dalam jual beli kredit, ketika pembeli telah memilih pilihan atas opsi harga kredit yang ditawarkan, maka harga itu berlaku secara mutlak, tidak bisa berubah. Baik pembeli bisa melunasi sempurna waktu, ataupun terjadi penundaan. Misalnya, kalau pembeli setuju dengan harga Rp 15.000.000,- dalam jangka waktu empat tahun, namun karenanya ia bisa melunasi dalam jangka waktu tiga tahun, maka ia tetap membayar Rp 15.000.000,-. Begitu pula sebaliknya, harga kredit tidak mengalami penurunan kalau pembayaran dilakukan lebih cepat dari jadwal yang ditentukan.
5. Jika suatu dikala pembeli tidak mampu untuk melanjutkan pembayaran angsuran, maka pembeli berhak untuk mengajukan pemutusan janji kredit. Dengan demikian, pembeli berkewajiban mengembalikan barang yang dikredit, dan penjual harus mengembalikan uang angsuran yang telah dibayarkan oleh pembeli kepada penjual.
Empat ulama madzhab dan lebih banyak didominasi ulama fikih kontemporer mengakui keabsahan praktek jual beli kredit dengan harga jual lebih tinggi dari harga tunai. Di antara landasan syar’i yang dijadikan dasar memperbolehkan praktek janji jual beli kredit yaitu sebagai berikut: 1. Hukum asal dalam muamalah yaitu mubah, kecuali terdapat nash shahih dan sharih yang melarang dan mengharamkannya. Berbeda dengan ibadah mahdhah, aturan asalnya yaitu haram kecuali ada nash yang memerintahkan untuk melakukanya. Dengan demikian, tidak perlu mempertanyakan dalil yang mengakui keabsahan sebuah transaksi muamalah, sepanjang tidak terdapat dalil yang melarangnya, maka transaksi muamalah sah dan halal adanya.
2. Keumuman nash al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 275:
... وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. [البقرة: 2:275]
Artinya: “... padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [QS. al-Baqarah (2): 275]
Dalam ayat ini, Allah mempertegas keabsahan jual beli secara umum, kehalalan ini meliputi semua jenis jual beli, termasuk di dalamnya jual beli kredit, sekaligus menolak dan melarang konsep ribawi.
3. Adanya unsur tolong-menolongdalam transaksi jual beli kredit, dikarenakan pembeli memungkinkan untuk mendapatkan barang yang diharapkan tanpa harus eksklusif membayarnya. Prinsip bersama-sama ini sesuai dengan semangat al-Qur’an surat al-Maidah (5) ayat 2:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. [المآئدة: 5: 2]
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kau dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan bersama-sama dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [QS. al-Maidah (5): 2]
4. Kepentingan penjual untuk menaikkan harga jual lebih tinggi dari harga tunai, dengan lantaran adanya penambahan jangka waktu pembayaran yaitu sebagai bab dari harga jual tersebut, bukan sebagai kompensasi waktu semata yang tergolong riba. Dan sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa sebuah komoditas memiliki nilai yang berbeda dan bisa berubah nilainya dari masa ke masa. Di antara jumhur ulama fiqih yang beropini demikian yaitu al-Ahnaf, para pengikut Imam asy-Syafi’i, Zaid bin Ali dan Muayyid Billah.
5. Transaksi muamalah dibangun atas asas mashlahat. Syara’ tiba untuk mempermudah urusan insan dan meringankan beban yang ditanggungnya. Syara’ juga tidak akan melarang bentuk transaksi kecuali terdapat unsur kezaliman di dalamnya. Seperti riba, dhalim, penimbunan, penipuan dan lainnya. Jual beli kredit akan menjadi mashlahat bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah, yang memungkinkan untuk mendapatkan barang yang diharapkan dengan keterbatasan danayang dimiliki.
Dengan demikian, jual beli komoditas dengan cara kredit, yang termasuk di dalamnya kendaraan bermotor, bukanlah transaksi hutang piutang atau pun transaksi atas barang ribawi, namun ia yaitu jual beli murni yang keabsahannya diakui oleh syariat. Tentunya, dengan ketentuan-ketentuan yang telah tersebut di atas.
Posting Komentar untuk "Kredit"