Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Macam-Macam Kepribadian Akseptor Asuh Perspektif Psikologi Kepribadian Islam

Jejak PendidikanDalam konteks Pendidikan Islam, terjadinya perubahan tingkah laku, sikap, dan kepribadian sesudah penerima didik mengalami proses pendidikan merupakan salah satu fokus perhatian Pendidikan Islam. Perubahan dan pembentukan kepribadian penerima didik tersebut sanggup dilihat dari pendekatan psikologi. Menurut Abdul Mujib, macam-macam kepribadian perspektif Psikologi Kepribadian Islam menurut kerangka struktur nafsani kepribadian (qalb, „aql, dan nafs) ialah sebagai berikut:

  1. Kepribadian ammârah yaitu citra kepribadian individu yang cenderung melaksanakan perbuatan-perbuatan rendah dan perbuatan tercela sesuai nalurinya. Individu tersebut mengikuti watak jasad dan mengejar prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Jiwa ini berkaitan dengan kebutuhan fisik insan yang dalam bahasa psikologi disebut unconscious mind state. Keadaan ini tidak lain yaitu keadaan pikiran tidak sadar individu yang memperturutkan hawa nafsu dan dikuasai oleh kelalaian. Kepribadian ammârah yang didominasi oleh hawa dan syahwat akan mengaburkan potensi individu ke arah pengembangan kepribadian yang baik.
  2. Kepribadian lawwâmah yaitu citra kepribadian yang mencela perbuatan jelek sendiri sesudah memperoleh cahaya kalbu. Individu berdiri untuk memperbaiki kebimbangannya dan adakala tumbuh perbuatan yang jelek yang disebabkan oleh watak gelap (ẓulmaniyyah)-nya, tetapi kemudian diingatkan oleh nur Ilahi, sehingga individu tersebut bertaubat dan memohon ampun (istighfâr). Lebih jelasnya, individu yang mempunyai kepribadian ini bisa menasehati diri sendiri kalau usai berbuat salah. Individu ini digambarkan sebagai seseorang yang labil, yang belum mempunyai pendirian dan prinsip besar lengan berkuasa dalam hidup. Jadi, sikap terkadang mengikuti norma agama tapi di waktu yang lain melanggar. Akan tetapi, sesudah pelanggaran tersebut individu akan menyadari kesalahannya.
  3. Kepribadian muṭmainnah adalah citra kepribadian yang damai sesudah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga individu sanggup meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran. Penting dipahami bahwa nafsu muṭma‟innah inilah yang disebut jati diri manusia. Individu yang telah mempunyai nafsu ini ditampilkan oleh individu yang berhasil mencapai sepenuhnya kesempurnaan manusia. Potret ideal dalam tingkatan nafsu inilah yang menjadi standar baiknya kepribadian, yakni kepribadian yang mempunyai kesadaran penuh atas apa yang ia perbuat, mengapa harus berbuat, dan konsekuensi perbuatannya. Pada alhasil individu yang kondisi psikisnya stabil ini akan mempunyai sebuah kesadaran untuk selalu memperbaiki kepribadiannya. Kesadaran ini individu dapatkan dari proses berpikir atau apa yang disebut dengan refleksi diri dan tercermin dalam laris sehari-har
Amin Abdullah yang mengutip dari Kitab Iḥyâ „Ulûm al-Dîn dan mengalih bahasakan klarifikasi al-Ghazali menggambarkan nafsu muṭmainnah bahwa kalau „aql telah mengendalikan kecenderungan jahat dan menundukkan serta mengharmonisasikan kekuatan-kekuatan binatang, perjuangannya berhenti dan memungkinkan diri untuk memperoleh kemajuan tanpa rintangan menuju tujuannya.

Dari klarifikasi tersebut tampak terperinci bahwa kepribadian muṭmainnah mempunyai kecenderungan yang tenang. Gambaran individu yang menjalankan segala tindakan dengan pelan namun pasti. Dalam konteks pendidikan, citra penerima didik yang mempunyai kepribadian ini yaitu penerima didik yang mempunyai orientasi, pandangan, dan sasaran hidup yang terperinci sambil merealisasikan tujuan hidup secara sistematis, pasti, dan tuntas.

Tiga macam kepribadian di atas merupakan macam-macam kepribadian yang secara normatif berasal dariajaran tasawuf dalam Islam sehingga harus dijelaskan secara lebih terperinci dan sistematis wacana citra kepribadian penerima didik relevansinya dengan hasil (output) Pendidikan Islam. 

Tiga macam kepribadian di atas bersifat hierarkis yang tahapannya dimulai dari kepribadian ammârah, kepribadian lawwâmah, dan kepribadian muṭmainnah. Adapun kepribadian ideal yang menjadi tujuan pencapaian dalam Pendidikan Islam ialah kepribadian muṭmainnah. Dengan demikian, pembentukan kepribadian penerima didik yang diupayakan oleh guru khususnya di lingkup pembelajaran berorientasi pada pembentukan kepribadian muṭmainnah. Meskipun pencapaian pembentukan kepribadian muṭmainnah tidak sanggup tercapai secara sempurna, bagaimana pun segala upaya yang dilakukan selama proses pendidikan tetap diarahkan pada pembentukan kepribadian muṭmainnah

Maksud dicantumkan tiga macam kepribadian yang mengatakan pengembangan dan perbaikan secara hierarkis supaya penyajian tersebut mendukung acara penilaian dalam proses dan selesai pembelajaran. Kegiatan penilaian dalam pembelajaran ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh perubahan sikap penerima didik ke arah yang lebih baik.

Peningkatan kepribadian ammârah ke kepribadian lawwâmah disebabkan oleh prosentase daya nafsu lebih bersahabat dengan prosentase daya logika dan terlalu jauh jaraknya dengan daya qalbu. Dalam posisi ini, individu sudah bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang terpuji dan yang tercela, dan antara yang benar dan yang salah serta mendayagunakan logika yang mempunyai fungsi mengatur (managing principle). Akan tetapi pada posisi berkepribadian lawwâmah, fungsi mengatur dari logika individu belum berfungsi secara efektif. Terbukti pada posisi ini individu digambarkan sebagai individu yang berbuat kesalahan akan tetapi sesudah itu sadar dan sanggup memperingatkan diri sendiri. Selain itu, sebelum individu tersebut berbuat kesalahan, logika tidak difungsikan dengan baik untuk memikirkan dan mempertimbangkan konsekuensi logis dari berbuat salah. Jadinya, logika gres tampak berfungsi sesudah individu mencicipi tanggapan jelek sehingga terdapat penyesalan sesudah berbuat salah dan gres kemudian individu tersebut memohon ampun kepada Allah Swt.

Adapun pengembangan qalbu dimaksud supaya potensi qalb bisa berfungsi sebagai instrumen spiritual yang cenderung pada kebaikan, terlatih dalam keluhuran akhlak, bisa menangkal hawa nafsu, dan mempunyai kematangan emosional. 

Adapun beberapa langkah dalam rangka menyebarkan qalb yakni sebagai berikut: 
  • membimbing dan membiasakan diri ke arah kebaikan (al-tawjih wal muawadah „ala al khair). Hal ini memerlukan sikap yang partisipatif, bukan sekadar indoktrinatif,
  • keteladanan lingkungan sosial (al-qudwah al-hasanah).
  • ketaatan beribadah, keseluruhan perintah ibadah yang dalam Islam dimaksudkan untuk membentuk langsung yang bersih, beriman, berislam, dan berihsan, dan
  • pembudayaan etika sosial (al-tahalli bil fadla‟il).
Yang dimaksud sikap partisipatif di atas ialah sikap kemandirian yang harus dimiliki penerima didik dengan cara ikut menyebarkan potensi qalb secara sadar. Selain itu, penting adanya sosok yang sanggup diteladani penerima didik guna mendukung proses pengembangan qalb menuju kepribadian penerima didik. Qalb ini merupakan sentra insan yang menggerakkan logika sekaligus sebagai sarana yang menghubungkan insan dengan Allah Swt.

Perlu ditekankan kembali bahwa kiprah pendidik kaitannya dengan pembentukan kepribadian penerima didik dalam proses pembelajaran yaitu bagaimana mengarahkan penerima didik bisa mencapai pada martabat kesempurnaan keseimbangan jiwa yang damai (muṭmainnah). Martabat keseimbangan jiwa yang damai ini sanggup mendorong dan membuka lathifah individu mencapai lathif Allah Swt. Keseimbangan jiwa yang damai ini akan menguatkan sikap penuh kerelaan (radliyah) dalam hal mendapatkan keputusan kehendak-Nya (iradah) dan mendapatkan kerelaan-Nya (mardliyah) terhadap insan yang mempunyai keseimbangan jiwa yang tenang.

Apabila jiwa muṭmainnah sudah sempurna, maka akan hadir rûh al-qudsiyah (ruh yang disucikan di hadirat Allah) dalam diri seseorang. Gambaran individu ini yaitu individu yang mendapatkan keadaan yang melingkupinya dengan tulus akan tetapi dibarengi dengan menyebarkan potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal untuk mengatasi pelbagai dilema dan tantangan yang dihadapi dalam diri individu, diri orang lain dan lingkungan sekitar. Peserta didik yang mempunyai kepribadian yang damai ini mempunyai sikap yang sadar dan sabar bahwa dirinya harus melalui kesulitan-kesulitan secara sedikit demi sedikit dalam proses pendidikan.



Rujukan:

  1. Darwito, Nafsul Muthmainnah Achievement, (Semarang: NMA Publishing, 2012).
  2. Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999).
  3. Zulkifli dan Sentot Budi Santoso, Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), (Solo: Cv. Mutiara Kertas, 2008).
  4. Netty Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005).

Posting Komentar untuk "Macam-Macam Kepribadian Akseptor Asuh Perspektif Psikologi Kepribadian Islam"