Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi Al-Makmun

Jejak PendidikanAl-Makmun ar-Rasyid dilahirkan pada tanggal 15 Rabi'ul Awal 170 H atau 14 Sepetember 786 M dan meninggal dunia pada tanggal 18 Rajab 218 H atau bertepatan dengan 9 Agustus 833 M. Beliau bergelar dengan Abu al-Abbas dengan nama orisinil al-Ma’mun Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi. Orang Barat memanggilnya dengan sebutan Almamon. al-Ma’mun di lahirkan enam bulan lebih dulu dari saudara sebapaknya al-Amin. al-Ma’mun lahir pada malam jum’at bertepatan dengan kemangkatan pamannya khalifah al-Hadi dan naik tahta ayahnya Harun Al-Rasyid.[1]



BACA JUGA Pendidikan Era Makmun

Al-Ma’mun yakni salah seorang Khalifah Bani Abbas, ia anak kedua Khalifah Harun al-Rasyid  dari seorang ibu asal Persia. Ibunya bekas hamba sahaya berjulukan Marajil, namun  ibunya meninggal ketika masih dalam keadaan nifas sesudah melahirkan al-Ma’mun. 

Al-Amin yang juga sepupunya berkedudukan lebih baik dari al-Ma’mun, disebabkan oleh ibunya yang berjulukan Zubaidah yang berasal dari anggota keluarga Abbasiyah, lantaran itu al-Amin terlebih dahulu dilantik sebagai putra mahkota yang pertama.

Sesudah diangkatnya al-Amin menjadi putra mahkota, selanjutnya Khalifah Harun ar-Rasyid melantik al-Ma’mun sebagai putra mahkota yang kedua, serta menyerahkan untuknya wilayah Khurasan hingga ke Hamdan lantaran ayahnya tidak memberi dearah kekuasaan terebut kepada al-Amin. Kemudaian al-Ma’mun tinggal didaerah tersebut dan menetap di Marw.[2]

Sementara itu al-Ma’mun, di samping usianya yang lebih tua, al-Ma’mun  lebih cerdas dan lebih pandai mengurus segala perkara. Sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca al-Qur’an oleh dua orang andal yang populer berjulukan Kasai Nahvi dan Yazidi. Sejak kecil al-Ma’mun telah mencar ilmu banyak ilmu. Dia menimba ilmu hadits dari ayahnya, dari Hasyim, dari Ibad bin Al-Awam, dari Yusuf bin ‘Athiyyah, dari Abu Mu’awiyah adh-Dharir, dari Ismail bin ‘Aliyah, Hajjaj al-A’war dan Ulama-ulama lain di zamannya.[3]

Untuk untuk mendalami mencar ilmu Hadits, Harun Al-Rasyid menyerahkan al-Ma’mun  kepada Imam Malik di Madinah. Kemudian ia mencar ilmu kitab al-Muwattha, karangan Imam Malik yang sangat singkat, al-Ma’mun telah menguasai Ilmu-ilmu kesastraan, tata Negara, hukum, hadits, falsafah, astronomi, dan aneka macam ilmu pengetahuaan lainnya. al-Ma’mun menghafal al-Qur’an begitu juga menafsirkannya.

Tidak seorang pun dari khalifah Bani Abbasiyyah yang lebih pandai darinya. Dia yakni seorang pembicara yang fasih dan singa podium yang lantang. Tentang kefasihannya dia berkata, “Juru bicara mu’awiyah yakni ‘Amr bin Ash, juru bicara Abdul Malik yakni Hajjaj, dan juru bicara aku yakni diri aku sendiri.” Disebutkan bahwa di dalam Bani Abbas itu ada Fatihah  (pembuka),  wastilah (penengah), dan Khatimah (penutup). Adapun pembukanya yakni as-Saffah, penengahnya yakni al-Ma’mun dan penutupnya yakni al-Mu’tadhid.[4]

Setelah ayahnya mereka meninggal, jabatan kekhalifahan sebagaimana wasiat dari Harun al-Rasyid diserahkan kepada saudara al-Ma’mun yaitu al-Amin. Dan al-Ma’mun mendapat jabatan sebagai gubernur di tempat Khurasan dan menggantikan al-Amin untuk menjadi khalifah sesudah al-Amin meninggal.

Akan tetapi wasiat dari ayahnya tersebut dilanggar oleh al-Amin dengan membatalkam al-Ma’mun menjadi khalifah dan mengangkat puteranya Musa bin Muhammad sebagai penggantinya nanti. Akhirnya, sesudah kejadian tersebut terjadilah perselisihan antara dua orang bersaudara tersebut. Dan terjadilah peperangan antara kelompok al-Amin dengan kelompok al-Ma’mun pada tahun 198 H/813 M.[5]

Khalifah al-Amin mempersiapkan pasukan besar dan mengirimnya ke Khurasan di bawah pimpinan Ali bin Isa, yang merupakan seorang komandan yang dibenci oleh orang-orang Khurasan, padahal tentara yang paling banyak itu berasal dari Khurasan dengan jumlah kira-kira 50.000 orang tentara. Sedangkan dipihak al-Ma’mun, ia mempersiapkan pasukan yang terdiri dari prajurit-pajurit yang pemberani dan perkasa. Dan menempatkannya dibawah pimpinan panglima perang Thahir ibn al-Hasan dengan pasukan yang hanya berjumlah 4.000 orang tentara.[6]
  
Kedua pasukan pun bertemu, Ali bin Isa sombong dan besar hati dengan jumlah pasukannya. Akan tetapi pertempuran berakhir dengan kekalahan dipihak al-Amin dibawah pimpinan Ali bin Isa, lantaran para tentara al-Amin tersebut tidak suka berperang bersama Ali bin Isa dan mereka tidak semangat bertempur.

Ketika itu, al-Ma’mun mengumpulan tentara yang besar dan berangkat untuk menuju ke Baghdad dan melaksanakan pengepungan terhadap ibu kota tersebut yang berlansung selama hampir 1 tahun. Dan balasannya Khalifah al-Amin berhasil terbunuh pada tahun 198 H/813 M. dan diangkatlah Al-Makmun menjadi khalifah. Beliau menjabat khalifah yang ketujuh Daulat Bani Abasiyah dan menjabat selama 20  tahun (198 H/813M – 218 H/833 M).

Al-Ma’mun merupakan khalifah penyokong Ilmu pengetahuan dan menempatkan para intelektual dalam posisi yang mulia dan sangat terhormat. Di kurun kepemimpinannya, Kekhalifahan Abbasiyah berubah menjadi sebagai adidaya dunia yang sangat disegani. Wilayah kekuasaan dunia Islam terbentang luas mulai dari Pantai Atlantik di barat hingga Tembok Besar Cina di timur. 

Dalam dua dasawarsa kekuasaannya, sang khalifah juga berhasil menjadikan dunia Islam sebagai penguasa ilmu pengetahuan dan peradaban di jagad raya. al-Ma’mun merupakan Khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian. Beliau juga dikenal sebagai figur pemimpin yang dianugerahi intelektualitas yang cemerlang. Beliau  menguasai bermacam-macam ilmu pengetahuan. Kemampuan dan kesuksesannya mengelola pemerintahan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam.[7]

Pengorbanan ia dalam memajukan Islam sangatlah besar sehingga al-Ma’mun bisa mewujudkan:
1.        Mewujudkan keamanan, kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
2.        Membangun kota Baghdad dengan bangunan-bangunan megah.
3.        Membangun tempat-tempat peribadatan.
4.        Membangun sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan.
5.        Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai forum penerjemah yang berfungsi sebagai sekolah tinggi tinggi, perpustakaan, dan penelitian.
6.        Membangun majelis al-Muzakarah, yakni forum pengkajian masalah-masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.

Pada masa kepemimpinannya, al-Ma’mun sering mengumpulkan para fukaha dari aneka macam penjuru negeri. Beliau mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam problem fiqih, ilmu bahasa arab, dan sejarah umat manusia. Saat ia menjelang dewasa, al-Ma’mun banyak bergelut dengan ilmu filsafat dan ilmu-ilmu yang pernah berkembang di yunani sehingga membuatnya menjadi seorang pakar dalam bidang ilmu ini. Ilmu  filsafat yang dipelajari telah menyeretnya kepada pendapat yang menyatakan bahwa al-Qur’an yakni makhluk. 

Dia yakni tokoh Bani Abbasiyyah yang paling istimewa dalam kemauannya yang kuat, kesabaran, keluasan ilmu, kecemerlangan  ide, kecerdikan, kewibawaan, keberanian dan ketolerannya. al-Ma’mun mempunyai dongeng hidup panjang yang penuh dengan kebaikan-kebaikan. Sayangnya jejak kehidupannya yang demikian baik sedikit tercemari dengan kejadian yang menggemparkan ketika dia menyampaikan bahwa al-Qur’an adalah  makhluk.

Al-Ma’mun juga meminta pendapat kepada enam orang yang dikenal mempunyai wawasan pendidikan yang luas untuk mengadapnya serta menjelaskan wacana posisi al-Qur’an berdasarkan mereka, apakah termasuk dalam makhluk atau bukan. Pada awalnya mereka tidak memberi pendapat mereka wacana hal ini, Namun mereka kemudian memberi jawaban taqiyah (pura-pura), semua mereka mejawab lantaran keterpaksaan. 

Bahkan al-Ma’mun juga mengumpulkan para andal fikih dan andal hadits untuk dimintai keterangan mereka wacana al-Qur’an itu yakni makhluk. Namun tidak sedikit ulama yang tidak memenuhi seruan al-Ma’mun, mereka yang hadir lantaran khawatir akan kilatan pedang yang akan menimpa mereka. Kemudian al-Ma’mun menyuruh kepada Ishaq bin Ibrahim untuk mengumpulkan kembali para ulama tyang tidak hadir pada kali pertama, mereka pun meghadiri pada panggilan selanjutnya.

Di antara para ulama yang hadir di waktu itu yakni Imam Ahmad bin Hanbal, al-Kindi, Abu Hasan Azziyadi, Ali bin Abu Muqatil, Muhammad bin Nuh, Muhammad bin Hatim, Ubaidillah bin Amr al-Qawariri Qutaibah bin Sa’id al-A’jili serta yang lainnya. Kemudian mereka diperlihatkan surat yang ditulis Amuril Mukminin namun merek semua membisu saja, tidak membenarkan dan tidak pula mengingkarinya. Ishaq berkata kepeda mereka, “kini Amirul telah menulis surat yang gres kemudian apa pendapat kalian?”.
Al-Basyr berkata, “saya katakan bahwa al-Qur’an itu yakni firman Allah”.
Lalu ditanyakan lagi kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “apa pendapatmu sendiri wahai Ahmad bin Hanbal?
 Lalu Ahmad bin Hanbal menjawab “Al-Qur’an itu yakni Kalam Allah dan aku tidak akan menambah kata apapun lagi lebih dari itu”.[8]

Setelah mengetahui jawaban mereka ibarat itu kemudian al-Ma’mun menyuruh kepada Ishaq untuk melarang mereka mengeluarkan aliran dan larangan meriwayatkan hadits, semua itu lantaran mereka tidak mau menyampaikan bahwa al-Qur’an itu makhluk. 

Disamping perkataannya bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dari pada Abu Bakar dan Umar. Akibatnya kaum muslimin merasa kesal dengan perkataan itu, hampir saja ucapan yang sangat kontroversial itu mengakibatkan tragedi besar dikalangan kaum muslimin.[9] Mendengar hal yang demikian yang diucapkan oleh al-Ma’mun maka banyak rakyat berkomentar atas kontroversialnya ucapan al-Ma’mun dengan realita yang ada dan yang mereka imani yang membuat kurang baiknya dongeng kepemimpinan al-Ma’mun.

Paham  ini menempel dan menjadi prinsip pemerintah. Orang yang tidak oke dengan pendapat ini akan dihukum. Inilah yang menimpa beberapa ulama yang istiqamah ibarat Imam Ahmad bin Hanbal, Sajjadat, Al-Qawariri, dan Muhammad Nuh.[10]

Disaat al-Ma’mun mendapat kabar wacana mereka yang memberi jawaban palsu bahwa al-Quran itu yakni makhluk maka dia murka besar dan memerintahkan biar mereka dibawa kehadapannya, kemudian mereka ditangkap dan untuk dibawa kehadapan al-Ma’mun. 

Namun sebelum sampai, kabar tersebar bahwa al-Ma’mun telah meninggal. Al-Ma’mun  jatuh sakit ketika berada di wilayah romawi, sebelum ia meninggal, al-Ma’mun menulis surat untuk disebarkan yang isinya “Dari Abdullah al-Ma’mun dan saudaranya Abu Ishaq, khalifah yang akan menggantikannya”. Al-Ma’mun meninggal pada 18 Rajab 218 H di badidun sebuah tempat di Romawi, kemudian dia dibawa ke Tharsur dan dimakamkan di sana. [11]


[1] A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, cet 2, (Jakarta:  Al-Husna Zikra, 2003). h. 115.  
[2] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1992). h. 683.
[3]https://duniainformasisemasa326.blogspot.com//search?q=06/peradaban-islam-di-masa-al-makmun. Diakses pada 10 Desember 2013.
[4] As-Suyuti, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001). h. 375.
[5] Syalabi, Sejarah dan,h. 115.
[6]http://inspirasialex.wordpress.com/2012/01/27/sejarah-daulat-bani-abasiyah-pada-masa pemerintahan-al-mamun/. Diakses pada tanggal 11 Desember 2013.

[7]http://alkisah teladan.Blogspot.Com/2009/09/al-makmun-khalifah-penyokong-ilmu.
[8]  As-Suyuti, Tarikh Khulafa’,h. 380.
[9]  Ibid, h. 376.
[10]http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/26/lk9cb7-daulahabbasiyah-almakmun-813833-m-mengembangkan-sains. Diakses pada 18 Desember 2013.
[11] As-Suyuti, Tarikh Khulafa’, h. 407.  

Posting Komentar untuk "Biografi Al-Makmun"