Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian Etika


 tidak sanggup lepas dari ilmu susila sebagai salah satu cabang Pengertian Etika

Jejak Pendidikan- Berbicara perihal etika dalam Islam tidak sanggup lepas dari ilmu susila sebagai salah satu cabangilmu pengetahuan Islam. Oleh alasannya ialah itu, etika dalam Islam bisa dikatakan identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu perihal keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya biar insan berhias dengannya; dan ilmu perihal hal-hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya biar insan terbebas daripadanya.

Etika di lain pihak, seringkali dianggap sama dengan akhlak. Persamaannya memang ada, alasannya ialah keduanya membahas problem baik-buruknya tingkah laris manusia, akan tetapi susila lebih akrab dengan ’kelakuan’ atau ’budi pekerti yang bersifat aplikatif, sedangkan etika lebih cenderung merupakan landasan filosofisnya, yang membahas ilmu perihal apa yang baik dan apa yang buruk.

Oleh alasannya ialah itu, ethics yang dalam beberapa literatur Islam disebut sebagai falsafah akhlaqiyyah sering terabaikan dari perhatian para sarjana, sejarawan, dan budayawan Islam.[1] Istilah etika sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yang berarti:

  1. merupakan pola umum atau jalan hidup,
  2. seperangkat aturan atau instruksi moral,
  3. penyelidikan perihal jalan hidup
Aturan-aturan perilaku, atau merupakan penyelidikan filosofis perihal hakekat dan dasar-dasar moral. Etika merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika berdasarkan filsafat ialah ilmu yang menyidik mana yang baik dan mana yang jelek dengan memperhatikan amal perbuatan insan sejauh yang sanggup diketahui oleh nalar pikiran. Etika dengan demikian bertugas merefleksikan bagaimana insan benar-benar bisa mengemban kiprah khalifah fi al-ardi.

Usaha insan untuk mencapai kesempurnaan hidup dengan banyak sekali tanggung jawabnya, mendorong dirinya untuk memakai kemampuan akalnya. Perbuatan insan itu tidak pernah terlepas dari sifat baik, buruk, harus dilakukan, harus ditinggalkan. Kesemuanya itu erat kaitannya dengan problem etika. 

Al-Qur’an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku, sekalipun ia membentuk keseluruhan etos Islam. Pembahasan perihal bagaimana cara mengeluarkan etos ini (dengan memakai akal) menjadi sangat penting dalam studi etika Islam, alasannya ialah al-Qur’an tidak saja mendorong penggunaan nalar tersebut, akan tetapi di dalam al-Qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang memperlihatkan semangat intelektualisme.

Etika[2] adalah cabang aksiologi (kajian filsafat perihal nilai) yang secara khusus membahas nilai baik dan jelek dalam arti sesuai dengan kesusilaan atau tidak. Dalam pembahasan yang lebih rinci, kata etika menyiratkan makna, contohnya etika bisa diartikan sebagai norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi pegangan seseorang atau suatu sekelompok dalam mengatur tingkah lakunya. 

Sebagai teladan ialah dikala disebut-sebut perihal Etika Jawa, Etika Hindu, Etika Protestan dan lain-lain, maka yang dimaksud ialah sistem nilai yang dianut oleh komunitas atau individu yang tergolong ke dalam suku bangsa atau penganut agama-agama tersebut. Etika juga sanggup diartikan kumpulan asas-asas atau norma-norma, yang biasa dikenal dengan istilah Kode Etik, menyerupai instruksi etik jurnalistik, instruksi etik kedokteran, instruksi etik pengacara, dan lain-lain.[3]

Gagasan-gagasan mengenai etika mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, alasannya ialah seluruh pilihan dan sikap setiap orang sesungguhnya berakar dari etika. Gagasan etika yang membentuk seluruh bangunan konsep pandangan hidup, way of life pada gilirannya berubah menjadi secara sosiologis dalam bentuk-bentuk kebiasaan, tradisi, serta norma-norma hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Proses kristalisasi nilai-nilai moral menjadi bentuk-bentuk norma hidup yang berlaku dalam kehidupan tersebut, di samping ditentukan oleh faktor psikologis pada masing-masing orang, juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang ada di luar dirinya menyerupai situasi lingkungan fisik, lingkungan sosial, tarik-menarik kepentingan antar warga masyarakat, serta pandangan umum masyarakat perihal kehidupan.

Oleh alasannya ialah itu, tidaklah mengherankan kalau hasil dari proses sosiologis ini, dalam bentuk prilaku ataupun norma-norma hidup yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai moral umum yang lebih universal.

Setiap generasi umat insan senantiasa mewarisi tradisi dan gagasan-gagasan etika dari generasi sebelumnya. Selanjutnya, keseluruhan atau sebagian dari gagasan tersebut pada karenanya tidak lagi sanggup dipertahankan sehingga perlu modofikasi, pembiasaan dan koreksi sesuai dengan kebutuhan dan tantangan dalam situasi yang baru.[4] Studi filsafat sistematik, pembahasan perihal etika meliputi dua model pendekatan:

  1. Normatif, Etika normatif dalam pengertian general ialah studi kritis perihal prinsip-prinsip moral, contohnya teori perihal apa yang sesungguhnya disebut baik/buruk. Sedangkan dalam konteks terapan, studi etika normative memilih posisi dan sikap terhadap problem-problem hidup insan dari sudut pandangan moral (misalnya mengenai soal seks di luar pernikahan, money politics, euthanasia). Dengan kata lain, diskusi etika normative berusaha memilih ukuran-ukuran moral yang narus diikuti oleh setiap orang kalau beliau menginginkan tindakan-tindakan yang dilakukannya dianggap baik.
  2. Non-normatif, Etika non-normatif mempunyai dua hal yang menjadi perhatian yaitu: pertama, etika dilihat sebagai fakta-fakta norma hidup yang berlaku di tengah pergaulan masyarakat (scientific ethict). Scientific ethict melakukan penelitian observatif terhadap fenomena etika yang terdapat dalam kehidupan masyarakat baik pada masa dahulu maupun sekarang, kemudian memaparkan berdasarkan fakta-fakta yang sesungguhnya tanpa melaksanakan evaluasi atau keberpihakannya kepada sistem etika tertentu. Kedua, kajian teknis yang menelaah makna istilah-istilah yang lazim digunakan dalam evaluasi etis, contohnya istilah baik, buruk, pantas, salah dan lain-lain (mataethics). Mataethics adalah menelaah istilah-istilah yang digunakan dalam diskusi-diskusi etika, khusus dari tinjauan semantik. Yang dipersoalkan di sini bukan apakah sesuatu jenis perbuatan tertentu baik atau tidak, tetapi apa bekerjsama arti dari kata-kata ’baik’ atau ’buruk’ kalau digunakan dalam konteks pembahasan etika. Dengan kata lain, mataethics mengarahkan perhatiannya kepada arti-arti khusus dari bahasa-bahasa etika.
Makna nilai dan makna etika yang telah dipaparkan merupakan citra atau kerangka untuk mencari makna nilai pendidikan dalam ibadah shalat. Makna nilai dan makna etika sangat penting alasannya ialah sanggup memperlihatkan makna terhadap sesuatu yang dianggap prinsip. Misalnya kalau seorang muslim meninggalkan shalat satu waktu, dalam dirinya ada rasa salah dan kepikiran terhadap meninggalkan shalat. Di sini ada makna atau nilai yang menjadi kontrol diri bagi langsung muslim.




[1] Suparman Syukur, Etika Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 3.
[2] Dalam Miftahul Huda, istilah etika berasal dari kata Greek ethikos yang bermakna adat, karakter, kebiasaan, cara dan sikap. Peter A. Angeles, Dictionary of Phiosophy, (New York: Barnes & Noble Book, 1931), hlm. 82. Lihat juga Dagobert D. Runes, Dictionary of Phiosophy, (New Jersey: Littlefield & Adam Co., 1971), hlm. 98.
[3] Dalam Miftahul Huda, K. Berten, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 4.
[4] Miftahul Huda, Al-Qur’an dalam Perspektif Etika dan Hukum,(Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm. 2-3.

Posting Komentar untuk "Pengertian Etika"