Fatwa-Fatwa Sesat Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah (Murid Ibnu Taymiyah)
Jejak Pendidikan- Berikut beberapa klarifikasi pendapat Ibn Qayyim yang sebagian orang menganggapnya menyebar pedoman sesat.
Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendaklah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”….
Ibn Qayyim al Jawziyyah; ialah murid Ibn Taimiyah, banyak mengambil kesalahpahaman-kesalahpahaman dari Ibn Taimiyah, benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya tersebut dalam banyak sekali persoalan ushuliyyah.
Ia berjulukan Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah.
Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan perihal sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah menuliskan perihal Ibn Qayyim sebagai berikut:
Sementara Ibn Katsir menuliskan perihal sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
Ibn Qayyim ialah sosok yang terlalu optimis dan mempunyai gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara faktual tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan klarifikasi yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan tumpuan ialah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut sebab dalam pandangannya ia mempunyai kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh sebab itu telah terjadi perselisihan yang cukup mahir antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim(Qâdlî al-Qudlât); Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam persoalan kebolehan menciptakan perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melaksanakan lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan sanksi ketika itu, yang pada karenanya Ibn Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut.
Imam Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarradsebagai bantahan atas kesalahpahaman Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, dalam banyak sekali permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang kemudian dengan dusta menyampaikan bahwa bait-bait syair tersebut ialah goresan pena Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan:
Tulisan Ibn Qayyim ini terang merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam ad-Daraquthni ialah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, menyerupai anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.
Pada pecahan lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan:
Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi menyampaikan bahwa bila seandainya langit tidak mempunyai keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih akrab kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.
Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:
Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendaklah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”….
Ibn Qayyim al Jawziyyah; ialah murid Ibn Taimiyah, banyak mengambil kesalahpahaman-kesalahpahaman dari Ibn Taimiyah, benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya tersebut dalam banyak sekali persoalan ushuliyyah.
Ia berjulukan Muhammad ibn Abi Bakr ibn Ayyub az-Zar’i, dikenal dengan nama Ibn Qayyim al-Jawziyyah, lahir tahun 691 hijriyah dan wafat tahun 751 hijriyah.
Al-Dzahabi dalam kitab al-Mu’jam al-Mukhtash menuliskan perihal sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
Ia tertarik dengan disiplin Hadits, matan-matan-nya, dan para perawinya. Ia juga berkecimpung dalam bidang fiqih dan cukup kompeten di dalamnya. Ia juga mendalami ilmu nahwu dan lainnya. Ia telah dipenjarakan beberapa kali sebab pengingkarannya terhadap kebolehan melaksanakan perjalanan untuk ziarah ke makam Nabi Ibrahim. Ia menyibukan diri dengan menulis beberapa karya dan mengembangkan ilmu-ilmunya, hanya saja ia seorang yang suka merasa paling benar dan terlena dengan pendapat-pendapatnya sendiri, hingga ia menjadi seorang yang terlalu berani atau nekad dalam banyak permasalahan” (al-Mu’jam al-Mukhtash).
Imam al-Hâfizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab ad-Durar al-Kaminah menuliskan perihal Ibn Qayyim sebagai berikut:
Ia ditaklukkan oleh rasa cintanya kepada Ibn Taimiyah, hingga tidak sedikitpun ia keluar dari seluruh pendapat Ibn Taimiyah, dan bahkan ia selalu membela setiap pendapat apapun dari Ibn Taimiyah. Ibn Qayyim inilah yang berperan besar dalam menyeleksi dan menyebarluaskan banyak sekali karya dan ilmu-ilmu Ibn Taimiyah. Ia dengan Ibn Taimiyah gotong royong telah dipenjarakan di penjara al-Qal’ah, sehabis sebelumnya ia dihinakan dan arak keliling di atas unta hingga banyak dipukuli ramai-ramai. Ketika Ibn Taimiyah meninggal dalam penjara, Ibn Qayyim kemudian dikeluarkan dari penjara tersebut. Namun demikian Ibn Qayyim masih menerima beberapa kali sanksi sebab perkataan-perkataannya yang ia ambil dari fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Karena itu Ibn Qayyim banyak mendapatkan serangan dari para ulama semasanya, menyerupai juga para ulama tersebut diserang olehnya” (ad-Durar al-Kâminah Fi A’yan al-Mi’ah ats-Tsaminah ).
Sementara Ibn Katsir menuliskan perihal sosok Ibn Qayyim sebagai berikut:
Ia (Ibn Qayyim) bersikukuh memperlihatkan fatwa tentang persoalan talak dengan menguatkan apa yang telah difatwakan oleh Ibn Taimiyah. Tentang persoalan talak ini telah terjadi perbincangan dan perdebatan yang sangat luas antara ia dengan pimpinan para hakim (Qâdlî al-Qudlât); Taqiyuddin as-Subki dan ulama lainnya” (Al-Bidâyah Wa an-Nihâyah, j. 14, j. 235).
Ibn Qayyim ialah sosok yang terlalu optimis dan mempunyai gairah yang besar atas dirinya sendiri, yang hal ini secara faktual tergambar dalam gaya karya-karya tulisnya yang nampak selalu memaksakan klarifikasi yang sedetail mungkin. Bahkan nampak penjelasan-penjelasan itu seakan dibuat-buatnya. Referensi utama yang ia jadikan tumpuan ialah selalu saja perkataan-perkataan Ibn Taimiyah. Bahkan ia banyak mengutak-atik fatwa-fatwa gurunya tersebut sebab dalam pandangannya ia mempunyai kekuatan untuk itu. Tidak sedikit dari faham-faham ekstrim Ibn Taimiyah yang ia propagandakan dan ia bela, bahkan ia jadikan sebagai dasar argumentasinya. Oleh sebab itu telah terjadi perselisihan yang cukup mahir antara Ibn Qayyim dengan pimpinan para hakim(Qâdlî al-Qudlât); Imam al-Hâfizh Taqiyuddin as-Subki di bulan Rabi’ul Awwal dalam persoalan kebolehan menciptakan perlombaan dengan hadiah tanpa adanya seorang muhallil (orang ke tiga antara dua orang yang melaksanakan lomba). Ibn Qayyim dalam hal ini mengingkari pendapat Imam as-Subki, hingga ia mendapatkan tekanan dan sanksi ketika itu, yang pada karenanya Ibn Qayyim menarik kembali pendapatnya tersebut.
Imam Taqiyuddin al-Hishni (w 829 H), salah seorang ulama terkemuka dalam madzhab asy-Syafi’i; penulis kitab Kifâyah al-Akhyâr, dalam karyanya berjudul Daf’u Syubah Man Syabbah Wa Tamarradsebagai bantahan atas kesalahpahaman Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
Ibn Taimiyah ialah orang yang beropini bahwa mengadakan perjalanan untuk ziarah ke makam para Nabi Allah ialah sebagai perbuatan yang haram, dan dihentikan melaksanakan qashar shalat sebab perjalanan tersebut. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah secara terang-terangan menyebutkan haram safar untuk tujuan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan makam Rasulullah. Keyakinannya ini kemudian diikuti oleh muridnya sendiri; yaitu Ibn Qayyim al-Jaiuziyyah az-Zar’i dan Isma’il ibn Katsir as-Syarkuwini. Disebutkan bahwa suatu hari Ibn Qayyim mengadakan perjalan ke al-Quds Palestina. Di Palestina, di hadapan orang banyak ia memperlihatkan nasehat, namun ditengah-tengah nasehatnya ia membicarakan persoalan ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulannya Ibn Qayyim kemudian berkata: “Karena itu saya katakan bahwa kini saya akan pribadi pulang dan tidak akan menziarahi al-Khalil (Nabi Ibrahim)”. Kemudian Ibn Qayyim berangkat ke wilayah Tripoli (Nablus Syam), di sana ia kembali menciptakan majelis nesehat, dan di tengah nasehatnya ia kembali membicarakan persoalan ziarah ke makam para Nabi. Dalam kesimpulan pembicaraannya Ibn Qayyim berkata: “Karena itu hendakalah makam Rasulullah jangan diziarahi…!”. Tiba-tiba orang-orang ketika itu bangun hendak memukulinya dan bahkan hendak membunuhnya, namun insiden itu dicegah oleh gubernur Nablus ketika itu. Karena insiden ini, kemudian penduduk al-Quds Palestina dan penduduk Nablus menuslikan isu kepada para penduduk Damaskus prihal Ibn Qayyim dalam kesalahpahamannya tersebut. Di Damaskus kemudian Ibn Qayyim dipanggil oleh salah seorang hakim (Qadli) madzhab Maliki. Dalam keadaan terdesak Ibn Qayyim kemudian meminta suaka kepada salah seorang Qadli madzhab Hanbali, yaitu al-Qâdlî Syamsuddin ibn Muslim al-Hanbali. Di hadapannya, Ibn Qayyim kemudian rujuk dari fatwanya di atas, dan menyatakan keislamannya kembali, serta menyatakan taubat dari kesalahan-kesalahannya tersebut. Dari sini Ibn Qayyim kembali dianggap sebagai muslim, darahnya terpelihara dan tidak dijatuhi hukuman. Lalu kemudian Ibn Qayyim dipanggil lagi dengan tuduhan fatwa-fatwa yang menyimpang yang telah ia sampaikan di al-Quds dan Nablus, tapi Ibn Qayyim membantah telah mengatakannya. Namun ketika itu terdapat banyak saksi bahwa Ibn Qayyim telah benar-benar menyampaikan fatwa-fatwa tersebut. Dari sini kemudian Ibn Qayyim dieksekusi dan di arak di atas unta, kemudian dipenjarakan kembali. Dan ketika kasusnya kembali disidangkan dihadapan al-Qâdlî Syamsuddin al-Maliki, Ibn Qayyim hendak dieksekusi bunuh. Namun ketika itu Ibn Qayyim menyampaikan bahwa salah seorang Qadli madzhab Hanbali telah menyatakan keislamannya dan keterpeliharaan darahnya serta diterima taubatnya. Lalu Ibn Qayyim dikembalikan ke penjara hingga tiba Qadli madzhab Hanbali dimaksud. Setelah Qadli Hanbali tersebut tiba dan diberitakan kepadanya prihal Ibn Qayyim sebenarnya, maka Ibn Qayyim kemudian dikeluarkan dari penjara untuk dihukum. Ia kemudian dipukuli dan diarak di atas keledai, sehabis itu kemudian kembali dimasukan ke penjara. Dalam insiden ini mereka telah mengikat Ibn Qayyim dan Ibn Katsir, kemudian di arak keliling negeri, sebab fatwa keduanya -yang nyeleneh- dalam persoalan talak” (Daf’u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrad, h. 122-123).
Ibn Qayyim benar-benar telah mengekor setiap jengkalnya kepada gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, dalam banyak sekali permasalahan. Dalam salah satu karyanya berjudul Badâ-i’ al-Fawâ-id, Ibn Qayyim menuliskan beberapa bait syair berisikan keyakinan tasybîh, yang kemudian dengan dusta menyampaikan bahwa bait-bait syair tersebut ialah goresan pena Imam ad-Daraquthni. Dalam bukunya tersebut Ibn Qayyim menuliskan:
Janganlah kalian mengingkari bahwa Dia Allah duduk di atas arsy, juga jangan kalian ingkari bahwa Allah mendudukan Nabi Muhammad di atas arsy tersebut bersama-Nya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, j. 4, h. 39-40).
Tulisan Ibn Qayyim ini terang merupakan kedustaan yang sangat besar. Sesungguhnya Imam ad-Daraquthni ialah salah seorang yang sangat mengagungkan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari; sebagai Imam Ahlussunnah. Seandainya ad-Daraquthni seorang yang berkeyakinan tasybîh, menyerupai anggapan Ibn Qayyim, tentu ia akan mengajarkan keyakinan tersebut.
Pada pecahan lain dalam kitab yang sama Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa langit lebih utama dari pada bumi, ia menuliskan:
Mereka yang beropini bahwa langit lebih utama dari pada bumi mengatakan: Cukup alasan yang sangat berpengaruh untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi ialah sebab Allah berada di dalamnya, demikian pula dengan arsy-Nya dan kursi-Nya berada di dalamnya” (Badâ-i’ al-Fawâ-id, h. 24).
Penegasan yang sama diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim dalam kitab karyanya yang lain berjudul Zâd al-Ma’âd. Dalam pembukaan kitab tersebut dalam menjelaskan langit lebih utama dari bumi menyampaikan bahwa bila seandainya langit tidak mempunyai keistimewaan apapun kecuali bahwa ia lebih akrab kepada Allah maka cukup hal itu untuk menetapkan bahwa langit lebih utama dari pada bumi.
Syekh Muhammmad Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn dalam menanggapi tulisan-tulisan sesat Ibn al-Qayyim di atas berkata:
Orang ini (Ibn al-Qayyim) meyakini menyerupai apa yang diyakini oleh seluruh orang Islam bahwa seluruh langit yang tujuh lapis, al-Kursi, dan Arsy ialah benda-benda yang notabene makhluk Allah. Orang ini juga tahu bahwa besarnya tujuh lapis langit dibanding dengan besarnya al-Kursi tidak ubahnya hanya menyerupai kerikil kerikil dibanding padang yang sangat luas; sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Hadits Nabi. Orang ini juga tahu bahwa al-Kursi yang demikian besarnya kalau dibanding dengan besarnya arsy maka al-Kursi tersebut tidak ubahnya hanya menyerupai kerikil kerikil dibanding padang yang sangat luas. Anehnya, orang ini pada ketika yang sama berkeyakinan persis menyerupai keyakinan gurunya; yaitu Ibn Taimiyah, bahwa Allah berada di arsy dan juga berada di langit, bahkan keyakinan gurunya tersebut dibela matia-matian layaknya pembelaan seorang yang gila. Orang ini juga berkeyakinan bahwa seluruh teks mutasyâbih, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi yang berdasarkan Ahl al-Haq membutuhkan kepada takwil, baginya semua teks tersebut ialah dalam pengertian hakekat, bukan majâz (metafor). Baginya semua teks-teks mutasyâbih tersebut dihentikan ditakwil” (Barâ-ah al-Asy’ariyyîn, j. 2, h. 259-260).
Posting Komentar untuk "Fatwa-Fatwa Sesat Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah (Murid Ibnu Taymiyah)"