Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Matematika Bukan Sebagai Ilmu Pasti

Berbicara ihwal matematika, kerap akan latah perkiraan dalam pikiran gotong royong Matematika ialah ilmu pasti. Dalam fatwa yang dangkal akan menyebutkan alasan kenapa matematika dikatakan sebagai ilmu pasti, 1+1=2.

Jika benar-benar meleburkan matematika dalam kehidupan, atau katakanlah menelusuri hakikat matematika maka anda akan hingga pada kesimpulan gotong royong matematika bukanlah sebuah ilmu pasti. Harus ditanamkan gotong royong matematika ini bukan sekedar kalkulasi abnormal saja.

Adapun matematika ialah ilmu dasar ihwal bagaimana memakai logika, mengasah dan menerapkan cara berpikir dalam menangkap pola pola peristiwa. Atas alasan apa matematika dikatakan begitu?

Matematika ialah Kesepakatan

Matematika ialah ilmu paling demokrasi. Berisi hukum yang lebih pantas disebut dengan komitmen bersama. Bisa dibilang kalau seorang politisi dengan kemampuan matematika buruk ialah politisi kurang cerdik dan tidak tahu makna demokrasi.

Kesepakatan yang terbentuk secara universal, demokrasi dengan mengedepankan logika. Itulah matematika. Sebagai contoh:
2+3 = 5 ini disepakati dikala konteks pembicaraan dalam bilangan desimal (basis 10). Lain hal dikala berbicara dalam konteks bilangan biner dan basis lainnya. Saat berbicara dalam koridor bilangan biner, 2+3 =0.
Ini semua atas dasar komitmen yang tertuang dalam topik 'konteks pembicaraan'. Dalam pola yang sama, anda bisa lihat tidak ada yang niscaya untuk 2+3. Hasilnya bisa 0 dan bisa 5.Jadi sungguh salah perkiraan yang dianut selama ini dikala menyatakan matematika sebagai ilmu pasti.

Matematika Sebagai Induk dari Seluruh Ilmu

Dalam sistem pendidikan, matematika kerap dicap sebagai ilmunya 'anak IPA'. Ilmu yang dicap hanya harus dikuasai oleh orang-orang yang 'kutu buku - yang dianugerahi kejeniusan'.

Sejatinya, sekali lagi perkiraan sedemikian telah menjebak kita semua. Matematika bukanlah 'ilmu sains alam' saja. Matematika melingkupi seluruh pengetahuan baik itu sains alam, sains sosial, seni, budaya, agama dan lainnya. Jebakan tersebut muncul lantaran sejauh fatwa kita selama ini hanya melabeli matematika sebagai ilmu menghitung. Pada hal secara keseluruhan, matematika ialah ilmu ihwal memberdayakan logika sehingga tingkat kemampuan berpikir insan lebih efektif, efisien dan sempurna guna. Sayangnya, yang paling terkenal hanya matematika sebagai kalkulasi.

Apa-apa yang diajarkan di dingklik pendidikan formal selama ini ihwal matematika ialah bentuk latihan berlogika. Namun sayangnya, pemahaman ini kurang bisa disadari oleh penerima didik dan pendidik. Terlebih, bisa dikatakan kurangnya sosialisasi pendidik yang memperkenalkan matematika sebagai ilmu memberdayakan logika. Mereka lebih kepada melakukan tugasnya ' Mengajarkan berhitung - gunakan rumus ini'.

Kurangnya hal tersebut, disebabkan ketidakmampuan mengaitkan matematika dengan pengetahuan lainnya. Misalkan, seseorang yang tertarik dengan seni akan bertanya - apa gunanya matematika dalam hal seni? - Mereka tidak menemukan jawaban- kesudahannya seseorang yang tertarik dengan seni tidak melihat bagaimana bergunanya matematika dalam seni.

Contoh berikutnya, Saya ingin menjadi seorang pebisnis saja. Saya tidak butuh matematika, kalau hanya berhitung urusan uang tidak akan terlalu susah.

Bila saja, semua orang tahu bagaimana fungsi matematika sebagai sebuah alat logika serba guna tentu mereka akan mendatangi matematika dengan antusias. Sebagai ilustrasi,
  1. 'Saya mau jadi pebisnis'. Anda harus memperhitungkan segalanya dalam bisnis. Kalkulasi tepat, prediksi pasar. Itu semua akan mengunakan logika dan perhitungan yang matang. Di sinilah kegunaannya matematika. Baiklah kini anda berguru ihwal trigonometri, mungkin anda tidak melihat hubungannya dengan bisnis. Namun, ini hanyalah penggalan kecil mengasah logika anda sebagai seorang pebisnis. Bagaimana anda berlatih menciptakan struktur penyelesaian sebuah permasalahan, bagaimana anda berlatih mengklasifikasikan dilema dan mencari jalan keluar dari dilema tersebut.
  2. 'Saya mau jadi musisi'. Ini ialah penggalan terpenting, anda harus bisa menangkap pola pola yang manis biar menghasilkan sebuah irama dan nada. Anda lihat, tangga nada hanya ada 'doremifasolasido' namun dengan pengasahan sensitifitas dalam menangkap pola bunyi, lahirlah sebuah lagu dimana 8 nada tersebut disusun menjadi sebuah nyanyian. Tanpa pengasahan logika dan sensitifitas tersebut, hanya akan ada seorang musisi bebal.
  3. 'Saya mau jadi Gubernur, Presiden, saya tidak butuh matematika'. Benar, kalau ingin menjadi pemimpin yang tidak peduli dengan apa yang dipimpin memang tidak diharapkan paham dan mempunyai kemampuan matematika. Karena anda tidak bisa mengatasi pola kemacetan, mencari jalan keluar dilema kasus yang ada.
  4. Dan lain sebagainya.
Teranglah di sini, bagaimana seharusnya mengenali matematika. Kebencian pada matematika selama ini lebih kepada kesalahpahaman mengenai matematika. Pewaris matematika lebih memperkenalkan matematika sebagai ilmu kalkulasi hitungan belaka -ilmu pasti. Bukan sebagai roh pembentuk logika berpikir.

Matematika hanya dijelaskan sebagai sebuah hitungan di atas kertas. Bukan sebuah bahasa global, mempermudah penyelesaian problem. Padahal tujuan besar matematika bukan ' Pintar Berhitung' tetapi bisa menuntaskan sebuah permasalahan dengan terstruktur, mudah, yang mana sebelumnya setiap permasalahan ditranslasikan dalam permodelan permodelan matematika sehingga lebih sederhana dan praktis untuk dicerna otak.

Posting Komentar untuk "Matematika Bukan Sebagai Ilmu Pasti"