Resensi Novel Api Tauhid
novel Api Tauhid, pembaca mulai dikenalkan dengan tokoh utama dalam dongeng itu yakni Fahmi. Fahmi yakni seorang perjaka yang cerdas dan taat beragama, berasal dari Lumajang, Jawa Timur. Saat di Pesantren Fahmi dipilih oleh Pak Kyai untuk mewakili santri dalam memperlihatkan sambutan bahasa Arab ketika ada kunjungan seorang ulama dari Madinah.
Kemudian Syaikh tersebut tertarik dengan Fahmi dan memperlihatkan kabar bahwa akan ada muqabalah atau penerimaan kuliah di Universitas Islam Madinah di Bogor. Dari pihak pesantren mengutus lima santri untuk mengikuti muqobalah, dan yang diterima hanya dua orang yakni Fahmi dan Ali. Fahmi merupakan perjaka yang sangat pandai dan bisa membanggakan kedua orang tuanya.
Orang tuanya sangat disanjung-sanjung oleh masyrakat sekitar kampungnya alasannya yakni prestasi-prestasi yang dimiliki oleh Fahmi. Sampai alhasil Fahmi diminta oleh Kyai Arselan, seorang Kyai populer di Kabupaten Lumajang untuk menikahi anak perempuannya berjulukan Firdaus Nuzula yang sedang menempuh pendidikan kesehatan di Universitas Islam Negeri Jakarta. Pernikahan sihir itu hanya berjalan 3 bulan saja kemudian Kyai Arselan meminta Fahmi untuk menceraikan Nuzula. Namun Fahmi tidak mau terburu-buru menjatuhkan talaqnya sebelum mengetahui alasan yang terang mengapa perenikah itu harus diakhiri.
Kejadian tersebut membuat Fahmi terkejut sehingga keputus asaannya dilampiaskan dengan ber‟itikaf di Masjid Nabawi dengan hajat ingin menghatamkan bacaan Al-Qur‟annya sebanyak 40 kali. Namun ketika gres 12 kali menghatamkan bacaan Al-Qur‟annya, badan Fahmi menjadi lemas dan jatuh sakit alasannya yakni ia lupa makan dan istirahat. Beruntung teman dekatnya, Hamzah dan Ali menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit. Setelah sembuh dari sakitnya, Fahmi memutuskan untuk berlibur ke Turki bersama Hamzah dan Subki dengan maksud bisa melupakan kenangan indahnya bersama Nuzula sekaligus ingin tadabbur sejarah keteladanan Syaikh Badiuzzaman Said Nursi di sana.
Said Nursi yakni seorang perjaka yang dilahirkan dari orang renta yang sangat taat beragama. Ibunya berjulukan Nuriye, seorang wanita yang hafal Al-Qur‟an dan sangat menjaga wudhunya. Setiap malam harinya ia selalu berjaga untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan Ayahnya berjulukan Mirza, yang sangat menjaga diri dari barang-barang syubhat. Termasuk untuk makanan-makan binatang ternaknya, ia tidak mau lembu-lembu miliknya memakan rumput yang tidak terang pemiliknya.
Prinsipnya kalau binatang tenak yang ia miliki memakan masakan yang halal, kalau binatang itu menghasilkan susu, maka susu tersebut akan menjadi susu yang berkah. Jika binatang itu melahirkan anak kemudian ia jual, maka uang dari hasil penjualnya juga akan berkah untuk keluarganya.
Said Nursi merupakan perjaka yang sangat haus akan ilmu pengetahuan. Karena ia mempunyai kecerdasan yang luar biasa, pada ketika antara usia 14-15 tahun ia bisa menghatamkan 80 kitab dalam waktu yang sangat singkat. Sehingga oleh salah satu gurunya Said diberi gelar “Badiuzzaman” yang artinya “keajaiban zamannya”. Allah telah menyiapkan Said Nursi semenjak kecil mempunyai kekuatan hafalan luar biasa dan kecerdasan analisis yang tajam. Al-Quan dihafalnya dalam waktu dua puluh hari saja ketika remaja.
Berkat kecerdasannya, Said Nursi dikenal banyak orang di Turki, hingga para cendekiawan dan raja-raja di Turki tak ada yang tidak mendengar nama tersebut. Sampai suatu ketika Badiuzzaman Said Nursi diajak berdebat oleh banyak cendekiawan, namun mereka kalah dan sangat takjub atas jawaban-jawaban yang diucapkan oleh Badiuzzaman Said Nursi. Pada masa tuanya ia juga berjuang mengobarkan Api Tauhid yang kala itu hampir hilang dengan membuat karya yang berjudul “Risalah Nur”.
Hamzah mengajak Fahmi dan Subki mengelilingi Tukri dengan mengunjungi tempat-tempat sejarah Badiuzzaman Said Nursi. Setiap perjalanan dan kawasan yang mereka kunjungi, Hamzah selalu menceritakan kehidupan sang mujaddid tersebut hingga pada masa simpulan hayatnya. Dan kisah Badiuzzaman menjadi buah tangan yang paling indah bagi Hamzah dan Subki selama di Turki.
Setelah sekian usang Fahmi dan Subki berlibur ke kawasan Hamzah lahir, petaka menimpa Fahmi. Fahmi mengalami cedera di kaki kirinya sehingga mau tidak mau kakinya harus diamputasi akhir benjol yang dialami. Dengan tulus Fahmi mendapatkan kenyataan yang dialami namun ia tidak mau kehilangan kakinya yang selama ini menemaninya pergi ke masjid, bangun di tengah malam, rukuk dan sujud. Kalaupun ia mati tak mengapa, biarlah ia mati dengan badan yang utuh.
Suatu ketika Ali tiba ke rumah sakit di Istanbul dimana Fahmi dirawat. Tanpa Fahmi duga, Ali membawa serta Firdaus Nuzula. Saat itu terjadilah drama yang luar biasa antara Fahmi dan Nuzula. Nuzula mencerikan semua tragedi yang bekerjsama kepada Fahmi. Ia benar-benar meminta maaf kepada Fahmi namun Fahmi tidak mau memaafkan. Nuzula pun pergi meninggalkan Fahmi dengan perasaan yang sangat kecewa. Karena sifat baik yang dimiliki Fahmi, akkhirnya ia memanggil Nuzula yang mulai beranjak pergi dari kawasan duduknya dan menyampaikan bahwa ia memaafkan kesalahannya dan masih menganggap Nuzula sebagai istrinya. Karena tidak ada ucapan talaq yang terlontar dari verbal Fahmi maupun Nuzula selama ini.
Akhir kisah dari dongeng ini, Fahmi dan Nuzula hidup sakinah dan terus berdoa serta ikhtiar untuk menyembuhkan kaki Fahmi yang sakit. Dan atas izin Allah kaki Fahmi sembuh menyerupai sedia kala.
Karena ijab kabul mereka masih berstatus sirih maka mereka berdua melangsungkan nikah ulang semoga tercatat secara resmi di KJRI Istanbul. Selesai janji kedua mempelai memperoleh buku nikah. Keduanya berfoto mesra. Lalu mereka terbang ke Kota Van untuk berbulan madu di sana. Fahmi dan Nuzula larut dalam desah ibadah nan suci. Tahmid dan tasbih membungkus kemesraan. Dzurriyah thayyibah dan rahmat Allah menjadi dambaan.
Posting Komentar untuk "Resensi Novel Api Tauhid"