Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahasiswa Sebagai Generasi Pendidik Masa Depan

Jejak Pendidikan- Mahasiswa yaitu cikal bakal generasi yang melanjutkan estapet pendidikan di masa yang akan datang. Masa mahasiswa yaitu suatu fase pengembangan dan pendalaman yang matang sebelum turun di tengah masyarakat yang berada pada lingkungannya masing-masing. Sebagai mahasiswa tidak lagi dididik dari dasar akan tetapi pengembangan dan pendalaman dari konsentrasi ilmu yang ia masuki dalam dunia pendidikan. Makara kita bisa bayangkan kalau saja yang masuk keperguauan tinggi harus mengulang dari dasar ini sangat ironis sekali. Jika mahasiswa harus dididik kembali untuk membaca Al-Qur’an atau dididik untuk tata cara berpakaian yang baik atau tatacara berinteraksi dengan orang lain.

Namun kalau saja mahasiswa itu yaitu setingkat dengan usia remaja hal ini sanggup dimaklumi, fase yang amat strategis dalam membentuk kepribadian seseorang. Karena pada fase ini seseorang sedang mencari jati dirinya sedang dalam proses pertumbuhan dan transisi, akan tetapi masa mahsiswa bukanlah proses di mana seseorang yang mencari siapa beliau sebab ia sudah bisa menentukan kemana ia harus melangkah, memasuki, dan menjalani kehidupan kedepan. Maka tidak masuk akal kalau seseorang masuk dalam kegiatan kuliah ada yang tidak mengetahui kemana arah atau final dari perkulihan itu kecuali kalau memang kuliah dengan ikut-ikutan saja.

Mahasiswa yang dipersiapkan untuk generasi pendidik kedepan, khususnya di Aceh dan Indonesia pada umumnya, sedang menghadapi tantangan dan juga peluang besar. Tatangan yang pertama dihadapi kini ini yaitu mahasiswa sekolah tinggi tinggi secara umum belum memperlihatkan kemampuannya untuk bekerja independent, tingginya tingkat ketergantungan kepada pengajar, umumnya mahasiswa memunculkan kerja yang seragam, ciri-ciri khas individual jarang muncul kepermukaan. Yang kedua mahasiswa yang memperlihatkan kefasifan dalam ruang belajar, di Indonesia umumnya kalau banyak bertanya bisa berada dalam kategori Su’ul adab dan kurang ajar, kuranganya minat menggali dan mencari informasi dari pengajar, sehingga menimbulakan kekurangan dalam hal analistik dalam setiap kajian. Perbandingannya etika mencar ilmu di dunia barat yaitu mahasiswa dituntut untuk rajin “menggugat dosennya” oleh dosennya sendiri.[1] Tantangan yang ketiga yaitu kurangnya kemampuan mahasiswa untuk bisa mengemukakan pemikiran, baik tertulis maupun lisan. Sedangkan peluang yang diliki oleh mahasiswa kita kini yaitu mereka mempunyai modal semangat yang tinggi, mereka sebagai orang yang sedang tumbuh dan berkembang sangat berpeluang untuk mempersiapkan diri sebagai generasi pendidik Islam yang suatu ketika akan mendapatkan estafet kependidikan agama dan bangsa di aneka macam sektor kehidupan.

Sebagai generasi yang baik, maka  mahasiswa yang berkualitas sanggup memposisikan sebagai generasi yang meiliki identitas dan ukhwah yang saling memilki ketergantungan antara satu dengan lainnya. Identitas yang islami yaitu seorang muslim yang memperlihatkan tanda pengenal yang islami, islami dalam berinteraksi, islami dalam bergaul, islami dalam bertindak serta islami dari segara hal dalam kehidupan. Namun kalau identitas berkisar Kartu Tanda Penduduk dan pelaksanaan yang wajib saja maka inilah identitas yang tidak terperinci atau kurang sempurna.

Syarat-syarat menjadi generasi penserus guru Agama dan Bangsa:
  1. Fikir, kualitas serta kuantitas seseorang sanggup dilihat pada kafasitas ia dalam berpikir untuk melahirkan kreativitas, ide-ide, penemuan, ajaran dan keahlian dalam proses yang cukup panjang. Proses inovasi bukanlah proses yang sejenak berlalu begitu saja kemudian hilang, proses fakir bukan hal yang sulit kalau dilakukan sebab ia hanya membutuhkan pengusaan melalui beberapa prosudur dianataranya, ibarat yang dijelaskan dalam kata Iqra’ dalam surah “Alaq diartikan membaca, menela’ah, mengakaji, meneliti, memperhatikan dan mendapatkan. Proses inilah yang memerlukan berpikir semoga mendapatkan keafsahan dalam temuan dan inspirasi lainnya.
  2. Dzikir, fakir dan dzkir adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan sampaikapanpun, pranan dzikir terhadap fakir merupakan pengontrol dari apa yang sudah ditemukan dari hasil kreativitas, ide-ide, penemuan, ajaran dan keahliannya masing-masing. Kafasitas dzikir jika tidak dikonterol oleh dzikir akan terjadi pelencengan intelektual, kreativitasan akan merusak kebenaran, inspirasi akan mencari kesenangan yang sebalah pihak, inovasi akan disalah gunakan, ajaran akan selalu mengarah kepada yang tidak benar.
  3. Amal Shaleh,  terakhir buah yang akan dihasilkan dari kombinasi antara fakir dan dzikir adalah amal shaleh. Amal shaleh yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan selalu mengharap ridha Allah. Fakir akan menjadi amal shaleh ketika fakir itu diiringi dengan dzikir lalu dzikir akan menjadi amal shaleh ketika dzikir itu selalu ditujukan kepada Allah sebagai Yang Maha Pemberi dan Sang Yang Maha Pengarah.[2]
Dengan menawarkan pembekalan ilmu yang mendukung profesi para calon pendidik meraka, diperlukan mereka tidak gamang dan selalu siap ditempatkan kapan dan dimanapun ditempatkan, maka dengan ini Islam seperti mempunyai rumusan bidang ilmu yang diakui secara universal. Yang pertama ilmu alamiah (natural science)yang terdiri dari ilmu biologi, fisika, kimia dan matekatika.  Yang kedua ilmu sosial yang terdiri dari sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Dan yang terakhir yaitu ilmu humaniora yang terdiri dari filsafat, bahasa dan sastra serta seni. Selain dari tiga ilmu tersebut di kalangan umat Islam berbagi jenis ilmu lian yiatu, ilmu Usuluddin, ilmu Syari’ah, ilmu Tarbiyah, ilmu Dakwah dan ilmu Adab.  

Upaya inilah yang kini lagi dikembangkan oleh seluruh elemen yang bertanggung jawab terhadap pendidikan khususnya pendidikan Agama Islam. Sebagai ransangan oleh pemerintah sendiri sesuai dengan hasil keputusan menteri pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 26 Tahun 1989 menetapkan pendidikan sebagai jabatan fungsional, suatu jabatan yang jenjang kenaikan pangkatnya ditentukan oleh kemampuannya melakukan fungsi professional sebagagi seorang pendidik.[3]

Professional seorang pendidikan sanggup dilihat melalui kemampuannya mengnalisis, merencanakan, menyusun program, mengelolan (menata) mendiagnosis dan menilai. Maka sebagai generasi pendidik kedepan atau untuk sanggup masuk ke dalam penjabaran tersebut diperluakan beberapa perjuangan sebagai berikut:
  1. Peningkatan kemampuan
  2. Peningkatan kemampuan mengajar
  3. Memiliki kompetensi dan keperibadian pendidik yang baik
Sebagai komponen penting dari pendidikan generasi pendidik kedepan mempunyai kedudukan yang amat sentral dalam pembentukan kualifikasi penerima didiknya. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan kulitas guru selalu dilaksanakan, baik secara formal, maupun non formal.Generasi pendidik harus peka terhadap kemajuan zaman, penerima didik dan perkembangan ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh penerima didik jauh dari sebelum disampaikan. Maka persiapan seorang generasi pendidik harus benar-benar matang semoga tidak gugup ketika berhadapan dengan penerima didik. Tantangan ini tidak sanggup dihindari, mustahil kita mengucilkan diri jauh dari keramaian masyarakat, demikian juga guru pendidikan agama. Tidak mungkin hanya berceramah dimimbar atau khutbah dimesjid saja akan tetapi menggunakan alat canggih guna memperluas jaringan pengetahuan melalui alat komunikasi yang dewasa  ini sedah dimanfaatkan oleh sebagian orang pintar. 


Sumber: 
alibuto.com
penulis:
Dr. Zulfikar Ali Buto, MA





[1]Hasil Kesimpulan Orasi Ilmiyah oleh Abdurrahman Mas’ud, Dalam, Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malikussaleh Lhokseumawe 2007-2008 pada Aula Mobil Oil Uteungkot 03 Maret 2007. 
[2]Imam Suprayogo, Membangun Integrasi Ilmu dan Agama di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang(Malang: Universitas Iskam Negeri Malang, 2005), hal. 33.
[3]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam & Tantangan Masa Depan, (Bandung: Cita Pusaka Media, 2002), hal.137. 

Posting Komentar untuk "Mahasiswa Sebagai Generasi Pendidik Masa Depan"