Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahasiswa Sebagai Generasi Pendidik Masa Depan

Jejak PendidikanDosen, karyawan dan mahasiswa merupakan tiga komponen pendidikan yang saling berinterkasi satu dengan yang lain. Dosen memperlihatkan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik kepada mahasiswa, karyawan melayani dosen dan mahasiswa dengan pelayanan yang prima, demikian halnya mahsiswa menjadi satu komponen yang sangat membutuhkan dosen dan karyawan guna tercapainya harapan yang diinginkan. Maka sungguh bila di antara ketiga komponen ini terjadi misikomunikasi akan terjadi ketidak nyamanan pada ketika proses pembelajaran berlangsung.

Untuk itu berkreativitas di akademi tinggi harus dilandasi oleh niat nrimo berusaha mendekati dan memperoleh ridha Allah SWT. Kesamaan tujuan berupaya sama-sama menggapai ridha Allah harus melahirkan kekerabatan yang saling menyayangi dan menghargai di antara komonitas kampus. Konsep yang terdapat dalam pendidikan Islam sangat terang mengajarkan bahwa siapapun yang memudahkan jalan bagi pengembangan ilmu harus dihargai. Hubungan dosen dan mahasiswa hendaknya harus ditunjukkan sebagaimana kekerabatan antara orang renta dan anaknya, antara petani dan tanamannya dan antara pengembala dan kambingnya. Antara dosen dan mahasiswa, harus ada nuansa kasih sayang yang mendalam. Artinya kekerabatan dosen dan mahasiswa tidak cukup diikat oleh peraturan yang tertulis, namun kekerabatan itu diikat oleh suasana batin, rasa kasih sayang dan saling melengkapi serta rasa saling membutuhkan.

Sikap prilaku jelek dan tidak terpuji, hendakknya dihindari oleh semua sivitasa ademika termasuk di dalamnya mahasiswa. Hubungan dosen dan mahsiswa wajib dijauhkan dari sifat transaksional, hegemonic dan kooptatik, artinya mereka yang mempunyai jabatan tidak arogan serta sombong dengan jabatannya, mereka yang menjadi ketua dalam wadah keoraganisasian tidak merasa berkuasa dengan bawahannya, mereka yang banyak tahu didak merasa

besar dengan ilmunya, mereka yang sudah senior tidak mempropokasi juniornya, mereka yang duduk sebagai masyarakat kampus tidak terpengaruh dengan masyarakat luar, mereka yang mempunyai kelebihan tida sombong dengan kelebihannya, serta merendah diri. Maka sangat masuk akal bila saja dalam kehidupan akademi tinggi masyarakat yang hidup di dalamnya harus mencerminkan sebagai masyrakat berbudaya etika tinggi, etiak tinggi dan bermoral tinggi. Budaya yang mencerminkan adiluhung yaitu budayanya orang-orang yang berpendidikan Tinggi Islam, budaya berilmu tinggi, budaya yang mencerminkan Qur’an, budaya bersahabat pada keteladanan Rasulullah SAW.

Perlu kita garis bawahi yang mana interaksi dan sikap yang kurang sesuai dengan isyarat etik yang ada yaitu prihal bahasa pergaulan kampus, busana yang dikenakan di lingkungan kampus, dan kurangnya kesaaran untuk berbuat sesuai dengan nilai pendidikan yang ada. Kajian filosifis dari bahasa jawa yang bisa menandakan dalam pribahasanya dikatakan “Ajining diri songko lathi, ajining rogo songko busono”artinya cara berbicara dan cara berbusana akan selalu dijadikan dasar dukungan penghormatan kepada seseorang. Jelas dari pribahasa jawa tersebut sanggup ditarik intisarinya secara inplisit yang bahwa kalau seseorang ingin dihormati orang lain, maka hargailah orang lain dengan cara berbicara dan berbusana yang baik atau sopan. Jaminannya yaitu pembicaraan dan busana yang dikenakan menjadi cermin kehormatan seseorang.

Masyarakat kampus –Dosen, Mahasiswa dan Karyawan baik secara individu maupun secara keseluruhan yaitu represantasi atau cerminan kewibawaan akademi tinggi bersangkutan. Sebagai forum pendidikan tinggi Islam dimana semua penghuninya bekerja dan mencar ilmu harus menjungjung dan memuliakan lembaganya. Artinya kalau siapa saja yang mencoreng nama baik lembaga, maka ia harus bertangung jawab kepada seluruh komponen kampus tanpa terkecuali. Semua Dosen, Mahasiswa dan karyawan akademi tinggi dimana dan kapanpun harus berbusana, menggunakan bahasa, berinteraksi dengan sesama dan orang lain menggunakan bahasa yang mencerminkan harkat dan derajat Islam yang agung dan tinggi (nilai-nilai keislaman mulia). Prihal berbusana Islam sudah memperlihatkan tuntunan yang jelas, wajib menutup aurat.

Dosen , mahasiswa dan karyawan wajib menggunakan model yang lagi ngetren sekarang, akan tetapi tidak diperkenankan menyimpang dari norma yang digariskan oleh pedoman Islam. Bahasa interkasi sehari-hari cepat atau lambat mereka harus menguasai minimal dua bahasa, bahasa Arab atau Inggris. Penggunaan bahasa abnormal tersebut bukan semata-mata lantaran tuntutan zaman belaka juga lantaran perdagangan bebas. Bahkan lebih besar dari itu, biar mempu membangun indetitas atau gambaran kampus Islam yang ada. Alasan lain juga terletak pada kajian-kajian yang berliteratur Arab dan Inggris, untuk itulah kedua bahasa itu harus menjadi bab dari kehidupan kampus.

Solusi yang sanggup dilakukan biar jalinan interaksi dan kekerabatan yang erat dan kukuh antar Dosen, Mahasiswa dan Karayawan akademi tinggi harus dikembangkan rasa tanggung jawab, Saince of belonging, dan Ta’aruf atau saling mengenal. Dari Ta’arufakan melahirkan Tafahum atau saling pemahaman, dari rasa saling memahami melahirkan Tadhamun atau saling pengertian dari Tadhamun melahirkan Tarahum atau saling menyayangi, kemudian akibatnya melahirkan Ta’awun atau saling tolong menolong di antara masyarakat kampus.

Interaksi menyerupai inilah, bagi umat muslimin dimana saja berada dijamian tidak akan menumbuhkan daya kritis dan kemunduran, lantaran dalam konsep Islam harus ditumbuh kembangkan secara berkesimabungan suasana yang digambarkan Allah dalam Q.S. Al-‘Ashr: 4 sebagai berikut:
Artinya: “Dan nasehat menasehatilah supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-‘Ashr: 4)

Hubungan dosen, mahasiswa dan karyawan diikat oleh kasih saying persaudaraan dibawah nilai keislaman yang kokoh, bukan dengan yang lain, ketamakan, saling menjatuhkan, menyalahkan, mencurugai, menentang, atau bahkan saling merebut kekuasaan pada pangkat dan jabatan. Sehinga akan sanggup merugikan salah satu atau kedua belah pihak.

Mahasiswa yaitu cikal bakal generasi yang melanjutkan estapet pendidikan di masa yang akan datang. Masa mahasiswa yaitu suatu fase pengembangan dan pendalaman yang matang sebelum turun di tengah masyarakat yang berada pada lingkungannya masing-masing. Sebagai mahasiswa tidak lagi dididik dari dasar akan tetapi pengembangan dan pendalaman dari konsentrasi ilmu yang ia masuki dalam dunia pendidikan. Kaprikornus kita bisa bayangkan kalau saja yang masuk keperguauan tinggi harus mengulang dari dasar ini sangat ironis sekali. Jika mahasiswa harus dididik kembali untuk membaca Al-Qur’an atau dididik untuk tata cara berpakaian yang baik atau tatacara berinteraksi dengan orang lain.

Namun kalau saja mahasiswa itu yaitu setingkat dengan usia remaja hal ini sanggup dimaklumi, fase yang amat strategis dalam membentuk kepribadian seseorang. Karena pada fase ini seseorang sedang mencari jati dirinya sedang dalam proses pertumbuhan dan transisi, akan tetapi masa mahsiswa bukanlah proses di mana seseorang yang mencari siapa ia lantaran ia sudah bisa menentukan kemana ia harus melangkah, memasuki, dan menjalani kehidupan kedepan. Maka tidak masuk akal kalau seseorang masuk dalam kegiatan kuliah ada yang tidak mengetahui kemana arah atau tamat dari perkulihan itu kecuali kalau memang kuliah dengan ikut-ikutan saja.

Mahasiswa yang dipersiapkan untuk generasi pendidik kedepan, khususnya di Aceh dan Indonesia pada umumnya, sedang menghadapi tantangan dan juga peluang besar. Tatangan yang pertama dihadapi kini ini yaitu mahasiswa akademi tinggi secara umum belum memperlihatkan kemampuannya untuk bekerja independent, tingginya tingkat ketergantungan kepada pengajar, umumnya mahasiswa memunculkan kerja yang seragam, ciri-ciri khas individual jarang muncul kepermukaan. Yang kedua mahasiswa yang memperlihatkan kefasifan dalam ruang belajar, di Indonesia umumnya kalau banyak bertanya bisa berada dalam kategori Su’ul adat dan kurang ajar, kuranganya minat menggali dan mencari warta dari pengajar, sehingga menimbulakan kekurangan dalam hal analistik dalam setiap kajian. Perbandingannya etika mencar ilmu di dunia barat yaitu mahasiswa dituntut untuk rajin “menggugat dosennya” oleh dosennya sendiri.

Tantangan yang ketiga yaitu kurangnya kemampuan mahasiswa untuk bisa mengemukakan pemikiran, baik tertulis maupun lisan. Sedangkan peluang yang diliki oleh mahasiswa kita kini yaitu mereka mempunyai modal semangat yang tinggi, mereka sebagai orang yang sedang tumbuh dan berkembang sangat berpeluang untuk mempersiapkan diri sebagai generasi pendidik Islam yang suatu ketika akan mendapatkan estafet kependidikan agama dan bangsa di aneka macam sektor kehidupan.

Sebagai generasi yang baik, maka mahasiswa yang berkualitas sanggup memposisikan sebagai generasi yang meiliki identitas dan ukhwah yang saling memilki ketergantungan antara satu dengan lainnya. Identitas yang islami yaitu seorang muslim yang memperlihatkan tanda pengenal yang islami, islami dalam berinteraksi, islami dalam bergaul, islami dalam bertindak serta islami dari segara hal dalam kehidupan. Namun kalau identitas berkisar Kartu Tanda Penduduk dan pelaksanaan yang wajib saja maka inilah identitas yang tidak terang atau kurang sempurna.

Syarat-syarat menjadi generasi penserus guru Agama dan Bangsa:

1. Fikir, 
kualitas serta kuantitas seseorang sanggup dilihat pada kafasitas ia dalam berpikir untuk melahirkan kreativitas, ide-ide, penemuan, pemikiran dan keahlian dalam proses yang cukup panjang. Proses inovasi bukanlah proses yang sejenak berlalu begitu saja kemudian hilang, proses fakir bukan hal yang sulit kalau dilakukan lantaran ia hanya membutuhkan pengusaan melalui beberapa prosudur dianataranya, menyerupai yang dijelaskan dalam kata Iqra’ dalam surah “Alaq diartikan membaca, menela’ah, mengakaji, meneliti, memperhatikan dan mendapatkan. Proses inilah yang memerlukan berpikir biar mendapatkan keafsahan dalam temuan dan inspirasi lainnya.

2. Dzikir, 
fakir dan dzkir adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan sampaikapanpun, pranan dzikir terhadap fakir merupakan pengontrol dari apa yang sudah ditemukan dari hasil kreativitas, ide-ide, penemuan, pemikiran dan keahliannya masing-masing. Kafasitas dzikir jika tidak dikonterol oleh dzikir akan terjadi pelencengan intelektual, kreativitasan akan merusak kebenaran, inspirasi akan mencari kesenangan yang sebalah pihak, inovasi akan disalah gunakan, pemikiran akan selalu mengarah kepada yang tidak benar.

3. Amal Shaleh, 
terakhir buah yang akan dihasilkan dari kombinasi antara fakir dan dzikir adalah amal shaleh. Amal shaleh yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan selalu mengharap ridha Allah. Fakir akan menjadi amal shaleh ketika fakir itu diiringi dengan dzikir lalu dzikir akan menjadi amal shaleh ketika dzikir itu selalu ditujukan kepada Allah sebagai Yang Maha Pemberi dan Sang Yang Maha Pengarah. Dengan memperlihatkan pembekalan ilmu yang mendukung profesi para calon pendidik meraka, dibutuhkan mereka tidak gamang dan selalu siap ditempatkan kapan dan dimanapun ditempatkan, maka dengan ini Islam seakanakan mempunyai rumusan bidang ilmu yang diakui secara universal.

Yang pertama ilmu alamiah (natural science) yang terdiri dari ilmu biologi, fisika, kimia dan matekatika. Yang kedua ilmu sosial yang terdiri dari sosiologi, psikologi, sejarah dan antropologi. Dan yang terakhir yaitu ilmu humaniora yang terdiri dari filsafat, bahasa dan sastra serta seni. Selain dari tiga ilmu tersebut di kalangan umat Islam menyebarkan jenis ilmu lian yiatu, ilmu Usuluddin, ilmu Syari’ah, ilmu Tarbiyah, ilmu Dakwah dan ilmu Adab. Upaya inilah yang kini lagi dikembangkan oleh seluruh elemen yang bertanggung jawab terhadap pendidikan khususnya pendidikan Agama Islam. Sebagai ransangan oleh pemerintah sendiri sesuai dengan hasil keputusan menteri pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 26 Tahun 1989 menetapkan pendidikan sebagai jabatan fungsional, suatu jabatan yang jenjang kenaikan pangkatnya ditentukan oleh kemampuannya melakukan fungsi professional sebagagi seorang pendidik.

Professional seorang pendidikan sanggup dilihat melalui kemampuannya mengnalisis, merencanakan, menyusun program, mengelolan (menata) mendiagnosis dan menilai. Maka sebagai generasi pendidik kedepan atau untuk sanggup masuk ke dalam penjabaran tersebut diperluakan beberapa perjuangan sebagai berikut:
a. Peningkatan kemampuan
b. Peningkatan kemampuan mengajar
c. Memiliki kompetensi dan keperibadian pendidik yang baik.

Sebagai komponen penting dari pendidikan generasi pendidik kedepan mempunyai kedudukan yang amat sentral dalam pembentukan kualifikasi penerima didiknya. Karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan kulitas guru selalu dilaksanakan, baik secara formal, maupun non formal. Generasi pendidik harus peka terhadap kemajuan zaman, penerima didik dan perkembangan ilmu pengetahuan yang didapatkan oleh penerima didik jauh dari sebelum disampaikan. Maka persiapan seorang generasi pendidik harus benar-benar matang biar tidak gugup ketika berhadapan dengan penerima didik.


Tantangan ini tidak sanggup dihindari, mustahil kita mengucilkan diri jauh dari keramaian masyarakat, demikian juga guru pendidikan agama. Tidak mungkin hanya berceramah dimimbar atau khutbah dimesjid saja akan tetapi menggunakan alat canggih guna memperluas jaringan pengetahuan melalui alat komunikasi yang bakir balig cukup akal ini sedah dimanfaatkan oleh sebagian orang pintar.


Sumber: alibuto.com 
Penulis: Dr. Zulfikar Ali Buto, MA

Posting Komentar untuk "Mahasiswa Sebagai Generasi Pendidik Masa Depan"