Proses Metode Bil-Qolam Dalam Meningkatkan Kualitas Pemahaman Mufradat/Makna Al-Quran.
Jejak Pendidikan- Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia proses ialah tuntutan perubahan dalam perkembangan sesuatu yang dilakukan secara terus-menerus. Selain itu pengertian lain dari proses ialah rangkaian tindakan, perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus yang dihasilkan suatu metode. Sedangkan berdasarkan Soewarno Handayaningrat dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen” menyampaikan bahwa Proses ialah sesuatu tuntutan perubahan dari suatu insiden perkembangan sesuatu yang dilakukan secara terus-menerus.
Dalam struktur pengajaran metode Bil-Qolam banyak keunggulan-keunggulan yang ditemukan, salah satunya pembelajaran sehabis lulus jilid metode Bil-Qolam dan lulus bacaan tiga puluh juz, atau yang biasa disebut dengan nama pasca sarjana.
Pada proses Pembelajaran pasca sarjana akan di arahkan ke tahap tahfidz Al-Qur’an, Qiroah bi Attaghonni, Terjemah Lafdziah, Penguasaan Bahsa Arab, dan Nahwu, Penguasaan Kitab Kuning. Tanpa lulus dari tahap awal maka tidak bisa menempuh tahap pasca sarjana. Hal ini menjadi suatu proses dalam jenjang peningkatan pemahaman dan pembelajaran metode Bil-Qolam khususnya dalam mempelajari terjemah Lafdziah. Terjemah Lafdziah dalam metode Bil-Qolam sebagai penguat pemahaman santri sehabis bisa membaca Al-Qur’an secara baik dan benar berdasarkan kaidah Tajwid.
Terjemah lafdiziah sanggup dibedakan dari dua sudut pengertian, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologis (istilah).
Lafadz terjemah didalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lβm, mengambarkan salah satu dari empat maknaberikut:
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijumpai arti terjemah, yaitu “menyalin (memindahkan) dari suatu bahasa kedalam bahasa lain atau mengalih bahasakan.
Dari klarifikasi etimologi terjemah diatas sanggup dipahami bahwa substansi dari terjemah ialah memindahkan bahasa pokok kepada bahasa sasaran (dalam hal ini dari bahasa Arab kepada bahasa Indonesia).
Menurut Abu al-Yaqzan ‘Atiyyah al-Jaburi di dalam kitab Dirasat fi al-Tafsir wa Rijalihi:
Menurut Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani di dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an:
Dari keempat pendapat perihal pengertian “terjemah” yang telah disebutkan di atas, sanggup diketahui bahwa kata ترجمة" ”dalam tuturan bahasa Arab mencakup banyak sekali makna bahkan pengertian kata “ ترجمة “ ini sering dikaitkan pada situasi dimana kata itu diucapkan. Namun secara ‘urf’ (umum) dapatlah kiranya diketahui bahwa terjemah, yaitu memindahkan suatu kalam (pembicaraan) darisuatu bahasa kedalam bahasa yang lain danmengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi.
Selain pengertian di atas, juga terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa jago dibidang bahasa, antara lain yaitu Catford (1965), menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat acara penerjemahan dan ia mendefinisikan terjemah yaitu “mengganti materi teks dalam bahasa sumber dengan materi teks yang sepadan dalam bahasa sasaran” Selain Catford Newmark (1988) juga menunjukkan definisi serupa, namun lebih terang lagi. Menurutnya terjemah yaitu “menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.” Sedangkan Ibnu Burdah mendefinisikan terjemah dengan sangat sederhana sebagai “usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).”
Aliran kedua, ialah cara yang dianut oleh Hunain bin Ishaq, Al-Jauhari dan lain-lainnya. Aliran ini berpokok pangkal kepada penguasaan seorang penterjemah terhadap konsep yang dikandung kalimat, kemudian ia mengungkapkan konsep tersebut dengan kalimat yang seimbang.
Dua aliran yang di ungkapkan oleh Al-Hasan Azzayat di atas, karenanya melahirkan dua metode penerjemahan secara garis besar, sebagaimana yang diungkap oleh beberapa ahli. Dua metode tersebut, yaitu terjemahan harfiah (الترجمة الجرفية ) dan terjemahan bebas ( الترجمة المعنويى ). Dibawah ini, penulis akan mengutip beberapa pengertian perihal dua metode penerjemahan di atas yang didefinisikan oleh beberapa ahli.
Muhammad Mansur dan Kustiwan merumuskannya, sebagai berikut:
Jadi, terjemahan harfiah ibarat dengan menyusun kata-kata di daerah padanannya.”
Manna’ Khalil al-Qattan mendefinisikan kedua metode itu, sebagai berikut:
Sedangkan Newmark (1988) juga mengajukan dua metode penerjemahan, yaitu:
Terjemahan harfiyah, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, ibarat urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku lantaran penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Metode terjemahan ini sangat terkenal dipraktekan di Eropa pada era pertengahan dan berkembang secara meluas, terutama sekali pada naskah yang dianggap sakral; kitab-kitab suci sebagai bunyi yang diwahyukan Tuhan. Terjemahan ini pula hingga kini masih dilakukan terhadap Kitab Suci, contohnya Bibel dan Al-Qur’an.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan bebas (Tafsiriyyah), bukan berarti seorang penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya, sehingga esensi terjemahan itu sendiri hilang. Bebas di sini berarti seorang penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah yang berbahasa sumber. Ia boleh melaksanakan modifikasi kalimat dengan tujuan semoga pesan atau maksud penulis naskah gampang dimengerti secara terang oleh pembacanya.
Disinilah seorang penerjemah hendaknya sadar bahwa dirinya bukanlah penulis naskah asli, dan naskah itu bukan miliknya. Ia hanya berkewajiban menjembatani pikiran penulis orisinil dengan masyarakat pembaca yang tidak mengerti bahasa yang dipergunakan penulis asli. Ia hanya membuka jalan sesuai dengan maksud yang terkandung dalam naskah bahasa aslinya. Karena orientasi penerjemah harus begitu, maka prioritas utama akan jatuh pada bentuk dan struktur kalimat yang dipakai penulisnya.
Disinilah kesulitan yang selalu dihadapi oleh seorang penerjemah, berbeda dengan seorang pengarang yang bebas mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya eksklusif dengan pena dan bahasanya, sedangkan seorang penerjemah, ia tidak bebas dalam menentukan kata-kata dan susunan kalimat.
Selain itu pula, seorang penerjemah harus memindahkan suatu konsep dari suatu bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasanya, serta harus mengetahui citra alam dan lingkungan seorang pengarang.
Karena kesulitan itulah, seorang penerjemah sering terperosok dalam kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuannya atau kurangnya perilaku hati-hati dalam menentukan kata-kata, susunan kalimat dan makna, sehingga wajarlah jikalau penterjemah sering kali dituduh sebagai penghianat, ibarat yang dikatakan pepatah Itali “ATRADUTTORE TRADITORE”, yang artinya “Penterjemah ialah penghianat”, lantaran si penterjemah sering tidak pas dalam menentukan arti kata-kata sehingga menyimpang dari maksud yang dikehendaki pengarang teks asli.
Berdasarkan pemaparan di atas perihal metode Terjemah, maka yang barkaitan dengan terjemah Lafdziah dalam pembelajaran metode Bil-Qolam yaitu metode terjemah Lafdziah atau Huruf, dan tidak menyinggung terjemah Maknawi (tafsir).
Dalam struktur pengajaran metode Bil-Qolam banyak keunggulan-keunggulan yang ditemukan, salah satunya pembelajaran sehabis lulus jilid metode Bil-Qolam dan lulus bacaan tiga puluh juz, atau yang biasa disebut dengan nama pasca sarjana.
Pada proses Pembelajaran pasca sarjana akan di arahkan ke tahap tahfidz Al-Qur’an, Qiroah bi Attaghonni, Terjemah Lafdziah, Penguasaan Bahsa Arab, dan Nahwu, Penguasaan Kitab Kuning. Tanpa lulus dari tahap awal maka tidak bisa menempuh tahap pasca sarjana. Hal ini menjadi suatu proses dalam jenjang peningkatan pemahaman dan pembelajaran metode Bil-Qolam khususnya dalam mempelajari terjemah Lafdziah. Terjemah Lafdziah dalam metode Bil-Qolam sebagai penguat pemahaman santri sehabis bisa membaca Al-Qur’an secara baik dan benar berdasarkan kaidah Tajwid.
Terjemah lafdiziah sanggup dibedakan dari dua sudut pengertian, yaitu pengertian secara etimologi (bahasa) dan pengertian secara terminologis (istilah).
1) Secara Etimologi (bahasa)
Kata terjemahan berasal dari bahasa Arab “ترجمة “ (tarjamah) kata tersebut kedudukannya sebagai masdar, yaitu dari Fξil Mβdhi Rubβ I al-Mujarrad“ترجمة “ yang bentuknya terjadi sebagai berikut:ترجمة، يترجم، ترجمة، وترجاما، ومترجما، فهو مترجم، وذاك مترجم، ترجم,لَتترجم،مترجم،مترجم.
Lafadz terjemah didalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lβm, mengambarkan salah satu dari empat maknaberikut:
- Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa lain.
- Memindahkan suatu kalam (pembicraan) kepada bahasa yang mudah.
- Menceritakan biografi seseorang.
- Pendahuluan dari sebuah kitab.
الترجمة لغة: تطلق على معان ترجع الى البيان والَيضاحTerjemahan secara bahasa ialah menetapkan suatu ma’na yang bisa menunjukkan keterangan dan kejelasan.”
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijumpai arti terjemah, yaitu “menyalin (memindahkan) dari suatu bahasa kedalam bahasa lain atau mengalih bahasakan.
Dari klarifikasi etimologi terjemah diatas sanggup dipahami bahwa substansi dari terjemah ialah memindahkan bahasa pokok kepada bahasa sasaran (dalam hal ini dari bahasa Arab kepada bahasa Indonesia).
2) Secara Terminologi (istilah)
Kemudian kata terjemah yang dalam bahasa Arab-nya disebut “ ترجمة “ berdasarkan Istilah pengertiannya sebagai berikut: Muhammad bin Salih al-‘Asimaini di dalam kitab Usul fi al-Tafsif, mengatakan:وفى الإصطلح : التعبير عن الكلم بلغة أخرى .“Terjemah secara istilah yaitu, menerangkan suatu kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa yang lain.”
Menurut Abu al-Yaqzan ‘Atiyyah al-Jaburi di dalam kitab Dirasat fi al-Tafsir wa Rijalihi:
نقل الكلم من لغة إلى لغة أخرى بدون بيان معنى الأصل المترجم عنه .Memindahkan suatu kalam (pembicaraan) dari satu bahasa kedalam bahasa yang lain dengan tidak menerangkan ma’na asal dari kalam yang diterjemahkan.”
تفسير الكلم وبيان معناه فى لغة أخرى .“Menafsirkan suatu kalam (pembicaraan) dan juga menerangkan ma’na kalam tersebut di dalam bahasa yang lain.”
Menurut Muhammad ‘Abdul ‘Azim al-Zarqani di dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an:
تبليغ الكلم لمن لم يبل غه“Menyampaikan kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa orang yang belum pernah menerimanya.”
تفسير الكلم بلغته التى جاء به“Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa kalam itu sendiri.”
تفسير الكلم بلغته غير لغته“Menafsirkan kalam (pembicaraan) dengan menggunakan bahasa selain bahasa kalam itu.”
نقل الكلم من لغة إلى أخرى“Mengalihkan suatu kalam (pembicaraan) dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain.”
Dari keempat pendapat perihal pengertian “terjemah” yang telah disebutkan di atas, sanggup diketahui bahwa kata ترجمة" ”dalam tuturan bahasa Arab mencakup banyak sekali makna bahkan pengertian kata “ ترجمة “ ini sering dikaitkan pada situasi dimana kata itu diucapkan. Namun secara ‘urf’ (umum) dapatlah kiranya diketahui bahwa terjemah, yaitu memindahkan suatu kalam (pembicaraan) darisuatu bahasa kedalam bahasa yang lain danmengungkapkan suatu pengertian dengan suatu kalam yang lain dalam bahasa yang lain, dengan memenuhi arti dan maksud yang terkandung di dalam pengertian tadi.
Selain pengertian di atas, juga terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan oleh beberapa jago dibidang bahasa, antara lain yaitu Catford (1965), menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat acara penerjemahan dan ia mendefinisikan terjemah yaitu “mengganti materi teks dalam bahasa sumber dengan materi teks yang sepadan dalam bahasa sasaran” Selain Catford Newmark (1988) juga menunjukkan definisi serupa, namun lebih terang lagi. Menurutnya terjemah yaitu “menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.” Sedangkan Ibnu Burdah mendefinisikan terjemah dengan sangat sederhana sebagai “usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).”
3) Metode Penerjemahan
Ustadz Al-hasan Azzayat menyampaikan dikalangan bangsa Arab terdapat dua aliran sebagaimana yang disebut oleh As-Shafadi, Aliran pertama, ialah aliran yang dianut Johanes Patriarch, Ibnu Na’imah al-Himshiy dan lainnya. Aliran ini memusatkan pandangan untuk mencari padanan setiap kata Yunani beserta kandungan maknaknya dari kata-kata Arab. Cara ini kurang baik disebabkan dua hal: pertama, tidak semua kata-kata Yunani terdapat padanannya dalam kosa kata bahasa Arab. Kedua, adanya perbedaan ciri-ciri susunan sintaksis antara satu bahasa dengan bahasa lain.Aliran kedua, ialah cara yang dianut oleh Hunain bin Ishaq, Al-Jauhari dan lain-lainnya. Aliran ini berpokok pangkal kepada penguasaan seorang penterjemah terhadap konsep yang dikandung kalimat, kemudian ia mengungkapkan konsep tersebut dengan kalimat yang seimbang.
Dua aliran yang di ungkapkan oleh Al-Hasan Azzayat di atas, karenanya melahirkan dua metode penerjemahan secara garis besar, sebagaimana yang diungkap oleh beberapa ahli. Dua metode tersebut, yaitu terjemahan harfiah (الترجمة الجرفية ) dan terjemahan bebas ( الترجمة المعنويى ). Dibawah ini, penulis akan mengutip beberapa pengertian perihal dua metode penerjemahan di atas yang didefinisikan oleh beberapa ahli.
Muhammad Mansur dan Kustiwan merumuskannya, sebagai berikut:
الترجمة الحرفية : نقل الكلم من لغة إلى أخرى وتراعى فى ذلك محاكاة الأصلفى عدد كلماته ونظمها وترتيبها. فهى تشبه وضع المرادف مكان مرادفها .Terjemahan harfiah ialah terjemahan yang memperhatikan peniruan teks orisinil dalam jumlah kata, susunan dan urutannya.
Jadi, terjemahan harfiah ibarat dengan menyusun kata-kata di daerah padanannya.”
والترجمة المعنوية : شرح الكلم وبيان معناه بلغة أخرى مراعاة مكافأة فى المعنوى الأغراض، واستقلل صيغة الترجمة عن الأصل، بحيث يمكن أن يستغنى بها عنه، كأنه لَ أصل هناك ولَ فرع .“Terjemahan maknawiyah (bebas), yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain sambil memperhatikan kesepadanan makna dan maksud bahasa asal serta kenetralan redaksi, sekirannya cukup dengan terjemahan yang seakan-akan bukan terjemahan.”
Manna’ Khalil al-Qattan mendefinisikan kedua metode itu, sebagai berikut:
الترجمة : وهى نقل الألفاظ من لغة إلى نظائرها من اللغة الأخرى بحيث يكون الن ظم موافقا للنظم، والترتيب موافقا لل ترتيب .“Terjemahan harfiyah, yaitu mengalihkan lafazh-lafazh dari suatu bahasa ke dalam lafazh-lafazh yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan tertib bahasa pertama.”
الترجمة التفسيرية والمعنوية : وهى بيان معنى الكلم بلغة أخرى من غير تقييد بترتيب الكلمات الأصل أمراعاة للنظم .“Terjemahan tafsiriyyah atau terjemahan maknawiyyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnaya.”
Sedangkan Newmark (1988) juga mengajukan dua metode penerjemahan, yaitu:
- metode yang menunjukkan penitikberatan terhadap bahasa sumber (BSu);
- metode yang menunjukkan penitikberatan terhadap bahasa sasaran (BSa). walaupun kemudian, Newmark menjelaskannya menjadi delapan metode penerjemahan, yaitu penerjemahan kata-demi-kata, Penerjemahn harfiah, penerjemahan setia, penerjemahan semantik, penerjemahan pembiasaan (saduran), Penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik dan penerjemahan komunikatif.
Terjemahan harfiyah, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber, ibarat urutan-urutan bahasa, bentuk frase, bentuk kalimat dan sebagainya. Akibat yang sering muncul dari terjemahan ini adalah, hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku lantaran penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar.
Metode terjemahan ini sangat terkenal dipraktekan di Eropa pada era pertengahan dan berkembang secara meluas, terutama sekali pada naskah yang dianggap sakral; kitab-kitab suci sebagai bunyi yang diwahyukan Tuhan. Terjemahan ini pula hingga kini masih dilakukan terhadap Kitab Suci, contohnya Bibel dan Al-Qur’an.
Adapun yang dimaksud dengan terjemahan bebas (Tafsiriyyah), bukan berarti seorang penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya, sehingga esensi terjemahan itu sendiri hilang. Bebas di sini berarti seorang penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat yang terdapat pada naskah yang berbahasa sumber. Ia boleh melaksanakan modifikasi kalimat dengan tujuan semoga pesan atau maksud penulis naskah gampang dimengerti secara terang oleh pembacanya.
Disinilah seorang penerjemah hendaknya sadar bahwa dirinya bukanlah penulis naskah asli, dan naskah itu bukan miliknya. Ia hanya berkewajiban menjembatani pikiran penulis orisinil dengan masyarakat pembaca yang tidak mengerti bahasa yang dipergunakan penulis asli. Ia hanya membuka jalan sesuai dengan maksud yang terkandung dalam naskah bahasa aslinya. Karena orientasi penerjemah harus begitu, maka prioritas utama akan jatuh pada bentuk dan struktur kalimat yang dipakai penulisnya.
Disinilah kesulitan yang selalu dihadapi oleh seorang penerjemah, berbeda dengan seorang pengarang yang bebas mengungkapkan apa yang ada dalam dirinya eksklusif dengan pena dan bahasanya, sedangkan seorang penerjemah, ia tidak bebas dalam menentukan kata-kata dan susunan kalimat.
Selain itu pula, seorang penerjemah harus memindahkan suatu konsep dari suatu bahasa yang berbeda sama sekali dengan bahasanya, serta harus mengetahui citra alam dan lingkungan seorang pengarang.
Karena kesulitan itulah, seorang penerjemah sering terperosok dalam kekeliruan yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuannya atau kurangnya perilaku hati-hati dalam menentukan kata-kata, susunan kalimat dan makna, sehingga wajarlah jikalau penterjemah sering kali dituduh sebagai penghianat, ibarat yang dikatakan pepatah Itali “ATRADUTTORE TRADITORE”, yang artinya “Penterjemah ialah penghianat”, lantaran si penterjemah sering tidak pas dalam menentukan arti kata-kata sehingga menyimpang dari maksud yang dikehendaki pengarang teks asli.
Berdasarkan pemaparan di atas perihal metode Terjemah, maka yang barkaitan dengan terjemah Lafdziah dalam pembelajaran metode Bil-Qolam yaitu metode terjemah Lafdziah atau Huruf, dan tidak menyinggung terjemah Maknawi (tafsir).
Posting Komentar untuk "Proses Metode Bil-Qolam Dalam Meningkatkan Kualitas Pemahaman Mufradat/Makna Al-Quran."