Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’An Surat Ali Imran Ayat 191
jejak Pendidikan- Dari uraian klarifikasi mengenai kedua ayat diatas sanggup dipahami bahwa terdapat gejala kebesaran Allah dalam penciptaan langit dan bumi seisinya bagi orang yang berilmu yang mau mengingat dan memikirkannya dalam keadaan duduk, berdiri, berbaring dan sebagainya. Berikut ini tafsiran para ulama mengenai ayat tersebut melalui ijtihadnya:
Pendapat ini dihukumi oleh para ulama dengan makruh beralasan, lantaran berdzikir kapada Allah pada tempat-tempat ibarat itu mengurangi kesantunan terhadap Allah, contohnya dengan membaca Al-Qur‟an di kamar mandi, bukankah susila kita mencegah perbuatan ibarat itu. Para ulama beropini dzikir dalam konteks ini diartikan dengan shalat bahwa kewajiban shalat dilakukan dengan berdiri, namun apabila tidak sanggup dengan duduk, dan berbaring jikalau tidak kuasa untuk duduk.
Dalam kegiatan tafakkur mereka juga mengingat Allah seraya lisannya berucap memuji keagungan dan kebesaran-Nya atas ciptaan yang mengandung pesan tersirat dan kemashlahatan. Masing-masing orang akan memperoleh pembalasan atas amal perbuatannya kelak, baik itu amal shalih maupun buruk.
Lanjutan perasaan sehabis mengingat dan berpikir, yaitu tawakkal dan ridla, berserah diri dan mengakui kelemahan.Seyogyanya bertambah tinggi ilmu seseorang bertambah ingatlah kepada Allah.Sebagai alamat akreditasi atas kelemahannya dihadapan Allah, timbullah bakti dan ibadat sebagai hamba kepada penciptanya.
Seorang mukmin yang mau memakai nalar pikirannya, selalu menaruh pengharapan hanya kepada Allah melalui pujian, doa dan ibtihal, sehabis melihat bukti-bukti keagungan Allah yang menunnjukkan keindahan hikmah. Mereka tahu bagaimana berbicara dengan Tuhan dikala telah mendapat hidayah terhadap sesuatu terkait dengan kebajikan dan kedermawanan-Nya dalam menghadapi ragam makhluk-Nya.
Berdasarkan beberapa penafsiran yang diberikan oleh para mufassir, sanggup dipahami bahwa insan diberikan hidayah berupa nalar untuk dipakai sebaik-baiknya dalam. Diantara kiprah atau kegiatan nalar yang disebutkan dalam ayat di atas yaitu bertafakur memikirkan ciptaan Allah.Merekalah yang dalam Al-Qur‟an disebut orang yang berilmu (Ulūl-albāb), yang mempunyai nalar berpengaruh untuk dipakai mengingat dan memikirkan ciptaan Sang Khaliq di alam semesta.
Ulūl-albāb yaitu orang yang menggabungkan potensi dzikir dan pikir, mereka selalu berdzikir mengingat Allah dalam banyak sekali situasi dan kondisi baik dalam suka maupun duka, sakit ataupun sehat, sempit atau lapang dalam segala keadaan duduk, bangun hingga berbaring. Mereka tidak pernah memutus dzikir kepada Allah, sebagai bentuk dzikir mengingat Allah bukan sekedar menyebut asma-Nya melalui lisan, melainkan dzikir dengan hati, lisan dan anggota badan.
Sedangkan berpikir, bisa dengan membaca, merenungi dan memahami segala yang ada di langit dan bumi yang berisi rahasia-rahasia Ilahi.Terdapat banyak sekali manfaat dan hikmah-hikmah yang menyampaikan kebesaran, kekuasaan, ilmu dan rahmat Sang Khalik yang patut disyukuri dan dijaga.
Dengan bekal akal, insan bisa membaca, mengetahui, memikirkan, meneliti, menelaah fenomena-fenomena yang ada kemudian menghasilkan suatu pengetahuan atau ilmu. Penemuan dalam banyak sekali ilmupengetahuan dan teknologi tersebut mengantarkan orang yang berilmu untuk mensyukuri dan meyakini segala ciptaan Allah amat bermanfaat dan tidak ada yang sia-sia.
Dalam buku ensiklopedi Al-Qur‟an dinyatakan, orang yang mempunyai acara mental dan menggunakannya untuk menatap ayat-ayat Allah disebut Ulūl-albāb. Mawlana Muhammad „Ali dalam tafsirnya mengatakan, bahwa konsekuensi berpikir dan berdzikir yaitu menuntut ilmu. Melalui ilmu nantinya akan diketahui mana yang baik dan buruk, ilmu sebagai penerang menuju jalan yang terang dan benar. Oleh alasannya itu, diantara orang yang terpesosok dalam neraka yaitu lantaran tidak memfungsikan akalnya dengan baik dikala ia hidup di dunia.
Sumber:
lihat di (Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 190)
a. Syaikh Imam al-Qurthubi
Pada ayat ini Allah menyebutkan tiga keadaan yang sering dilakukan oleh insan pada tiap-tiap waktunya.Dikatakan Rasulullah selalu berdzikir kepada Allah dalam setiap keadaannya. Dzikir dalam arti umum sanggup dilakukan dalam banyak sekali keadaan, walaupun dikala berada di kamar mandi atau tempat-tempat kurang baik, lantaran pahalanya akan tetap ditulis oleh malaikat tanpa melihat lokasi daerah berdzikir.Pendapat ini dihukumi oleh para ulama dengan makruh beralasan, lantaran berdzikir kapada Allah pada tempat-tempat ibarat itu mengurangi kesantunan terhadap Allah, contohnya dengan membaca Al-Qur‟an di kamar mandi, bukankah susila kita mencegah perbuatan ibarat itu. Para ulama beropini dzikir dalam konteks ini diartikan dengan shalat bahwa kewajiban shalat dilakukan dengan berdiri, namun apabila tidak sanggup dengan duduk, dan berbaring jikalau tidak kuasa untuk duduk.
b. Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy
Orang yang berilmu (Ulūl-albāb) yaitu orang yang memperhatikan penciptaan langit dan bumi beserta isi dan hokum-hukumnya, kemudian mengingat penciptanya yakni Allah, dalam segala keadaaan.Kemenangan dan keberuntungan hanyalah dengan mengingat kebesaran Allah serta memikirkan segala makhluk-Nya yang menunjuk kepada adanya Sang Khaliq yang Esa.Yang mempunyai ilmu dan kodrat, yang diiringi oleh keyakinan dan taqwa.Dalam kegiatan tafakkur mereka juga mengingat Allah seraya lisannya berucap memuji keagungan dan kebesaran-Nya atas ciptaan yang mengandung pesan tersirat dan kemashlahatan. Masing-masing orang akan memperoleh pembalasan atas amal perbuatannya kelak, baik itu amal shalih maupun buruk.
c. Prof. Dr. Hamka
Orang yang berpikiranartinya orang yang tidak pernah lepas dari mengingat Allah, baik dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring.Kata yadzkurūna berarti ingat berpokok pada kata dzikir.Disebutkan pula, gotong royong dzikir hendaklah bertali diantara sebutan dan ingatan.Kita bisa menyebut Asma Allah dengan lisan dikarenakan telah teringat terlebih dahulu dalam hati.Sesudah pengelihatan atas kejadian langit dan bumi, atau pergantian siang dan malam, langsungkan ingatan kepada yang menciptakannya.Karena jelaslah dengan alasannya ilmu pengetahuan bahwa semuanya itu tidaklah ada yang terjadi sia-sia atau secara kebetulan.Kegiatan mengingat (tadzakkur) itu bekerjasama dengan kegiatan memikirkan (tafakkur).Lanjutan perasaan sehabis mengingat dan berpikir, yaitu tawakkal dan ridla, berserah diri dan mengakui kelemahan.Seyogyanya bertambah tinggi ilmu seseorang bertambah ingatlah kepada Allah.Sebagai alamat akreditasi atas kelemahannya dihadapan Allah, timbullah bakti dan ibadat sebagai hamba kepada penciptanya.
d. M. Quraish shihab
Ayat tersebut menjelaskan sebagian dari ciri-ciri siapa yang dinamai Ulūl-albāb. Mereka yaitu orang baik pria atau wanita yang terus-menerus mengingat Allah, dengan ucapan dan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi apapun.Obyek dzikir yaitu Allah, sedangkan obyek nalar pikiran yaitu seluruh makhluk ciptaan-Nya.Akal diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, dan terdapat keterbatasan dalam memikirkan dzat Allah.e. Ahmad Mustafa al-Maragi
Ulūl-albāb yaitu orang-orang yang mau memakai pikirannya, mengambil faedah darinya, mengambil hidayah darinya, menggambarkan keagungan Allah dan mau mengingat pesan tersirat nalar dan keutamaannya, di samping keagungan karunia-Nya dalam segala perilaku dan perbuatan mereka, sehingga mereka bisa berdiri, duduk, berjalan, berbaring dan sebagainya. Mereka tidak lalai untuk mengingat Allah dalam sebagian waktunya, merasa hening dengan mengingat Allah dan karam dalam kesibukan mengoreksi diri secara sadar bahwa Allah selalu mengawasi mereka.Seorang mukmin yang mau memakai nalar pikirannya, selalu menaruh pengharapan hanya kepada Allah melalui pujian, doa dan ibtihal, sehabis melihat bukti-bukti keagungan Allah yang menunnjukkan keindahan hikmah. Mereka tahu bagaimana berbicara dengan Tuhan dikala telah mendapat hidayah terhadap sesuatu terkait dengan kebajikan dan kedermawanan-Nya dalam menghadapi ragam makhluk-Nya.
Berdasarkan beberapa penafsiran yang diberikan oleh para mufassir, sanggup dipahami bahwa insan diberikan hidayah berupa nalar untuk dipakai sebaik-baiknya dalam. Diantara kiprah atau kegiatan nalar yang disebutkan dalam ayat di atas yaitu bertafakur memikirkan ciptaan Allah.Merekalah yang dalam Al-Qur‟an disebut orang yang berilmu (Ulūl-albāb), yang mempunyai nalar berpengaruh untuk dipakai mengingat dan memikirkan ciptaan Sang Khaliq di alam semesta.
Ulūl-albāb yaitu orang yang menggabungkan potensi dzikir dan pikir, mereka selalu berdzikir mengingat Allah dalam banyak sekali situasi dan kondisi baik dalam suka maupun duka, sakit ataupun sehat, sempit atau lapang dalam segala keadaan duduk, bangun hingga berbaring. Mereka tidak pernah memutus dzikir kepada Allah, sebagai bentuk dzikir mengingat Allah bukan sekedar menyebut asma-Nya melalui lisan, melainkan dzikir dengan hati, lisan dan anggota badan.
Sedangkan berpikir, bisa dengan membaca, merenungi dan memahami segala yang ada di langit dan bumi yang berisi rahasia-rahasia Ilahi.Terdapat banyak sekali manfaat dan hikmah-hikmah yang menyampaikan kebesaran, kekuasaan, ilmu dan rahmat Sang Khalik yang patut disyukuri dan dijaga.
Dengan bekal akal, insan bisa membaca, mengetahui, memikirkan, meneliti, menelaah fenomena-fenomena yang ada kemudian menghasilkan suatu pengetahuan atau ilmu. Penemuan dalam banyak sekali ilmupengetahuan dan teknologi tersebut mengantarkan orang yang berilmu untuk mensyukuri dan meyakini segala ciptaan Allah amat bermanfaat dan tidak ada yang sia-sia.
Dalam buku ensiklopedi Al-Qur‟an dinyatakan, orang yang mempunyai acara mental dan menggunakannya untuk menatap ayat-ayat Allah disebut Ulūl-albāb. Mawlana Muhammad „Ali dalam tafsirnya mengatakan, bahwa konsekuensi berpikir dan berdzikir yaitu menuntut ilmu. Melalui ilmu nantinya akan diketahui mana yang baik dan buruk, ilmu sebagai penerang menuju jalan yang terang dan benar. Oleh alasannya itu, diantara orang yang terpesosok dalam neraka yaitu lantaran tidak memfungsikan akalnya dengan baik dikala ia hidup di dunia.
Sumber:
lihat di (Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 190)
Posting Komentar untuk "Pandangan Para Mufassir Terhadap Al-Qur’An Surat Ali Imran Ayat 191"