Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strategi Dalam Pendidikan Islam

Jejak PendidikanPada dasarnya tidak ada perbedaan antara taktik dalam pendidikan Islam dengan pendidikan lainya. Jika diperhatikan, perbedaannya hanya terletak pada nilai spiritual dan mental yang menyertainya pada dikala taktik tersebut dilaksanakan atau dipraktekkan.


Nilai spiritual dan mental tersebutlah yang membangun akhklak mulia (akhlaqul karimah) dalam diri manusia, alasannya dalam konteks pendidikan Islam, tujuan yang paling krusial ialah menanamkan adat mulia dan memerangi keburukan moral. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak hanya bermaksud mendidik insan untuk sekedar mempunyai pengetahuan semata akan tetapi yang terpenting ialah mempunyai religiusitas yang tinggi dan bisa mengintegrasikan kecerdasan intelektual dengan spiritual-emosionalnya.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara taktik dalam pendidikan Islam dengan pendidikan Strategi dalam Pendidikan Islam
 

Dalam jurnal Sobry, ada beberapa taktik pendidikan Islam yang layak dipertimbangkan untuk direaktualisasikan dalam dunia pendidikan global dikala ini, diantaranya yaitu:

1) Niat ibadah: proses awal dalam kegiatan pendidikan
Bila diperhatikan dalam kebanyakan karya ulama’ klasik, bantu-membantu pembahasan niat menempati posisi pertama dalam karya-karya mereka terutama di bidang pendidikan. Al Zarnuji dalam karya fenomenalnya “ta’lim muta’allim” menempatkan pembahasan niat di pembahasan kedua sesudah membahas epistemologi ilmu dan fikih serta kelebihannya. Ia mengemukakan bahwa niat merupakan akar, permulaan setiap perbuatan.

Meskipun di urutan kedua, Al Zarnuji menegaskan bahwa dalam proses menuntut ilmu, niat merupakan tahap pertama yang harus dilalui. Niat menjadi taktik awal yang urgen dalam setiap aktivitas, termasuk dalam kegiatan pendidikan. Berhasil atau tidak, banyak atau sedikit manfaat yang diperoleh dalam suatu pendidikan sangat ditentukan oleh niat.

Dalam hal ini, pendidik harus mengingatkan penerima didiknya bahwa pendidikan tidak hanya semata-mata untuk mewujudkan tujuan yang bersifat duniawi semisal mendapat pekerjaan atau pun jabatan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan akuisisi masyarakat, namun pendidikan diniatkan sebagai salah satu ibadah untuk mencari keridhaanNya sekaligus sebagai kiprah kekhalifahan “wajib” dari Allah untuk mengelola bumi dan semua isinya dengan ilmu pengetahuan.

Jadi, dalam proses pendidikan, seorang pendidik hendaknya “memasang” niat dalam hatinya bahwa proses pendidikan yang hendak dilaksanakan merupakan ibadah, yang bertujuan mengharapkan ridha Nya, meghilangkan kebodohan, menghidupkan agama (ihya’ al diin), dan melestarikan Islam (ibqa’ al Islam), karena Islam hanya akan berjaya dengan ilmu pengetahuan. Disamping itu, pendidikan juga diniatkan untuk menegakkan kebenaran, melenyapkan kezaliman dan sebagai “medan” juang dalam membina mental dan moral serta memeliharan kemaslahatan umat.

2) Pendidikan berorientasi masa depan
Perkataan Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Sobry dalam kitab Ahdaf al-Tarbiyah al-Islamiyah mengenai pendidikan berorientasi masa depan, yaitu “allimu auladakum gayra ma ta’lamtum, fa innahum khuliqu lizamani gayri zamanikum” yang artinya ajarilah anak-anakmu sebaik-baik apa yang telah kau pelajari, alasannya bantu-membantu mereka diciptakan untuk masa yang berbeda dengan masa kalian.

Jika diperhatikan perkataan Ali diatas, bantu-membantu ingin menegaskan bahwa pendidikan harus berorientasi pada masa depan. Kondisi sosial dan budaya yang bakal ditemui oleh siswa, tidaklah sama dengan kondisi hari ini. Tantangan yang akan mereka hadapi tentu tidak sama dengan masa sekarang. Kehidupan insan penuh dengan dinamika perubahan di segala lini. Oleh alasannya itu, sistem pendidikan yang berorientasi masa depan ialah lewat “melihat” keadaan sekarang, dan “menginginkan” masa depan yang dicita-citakan.

3) Memperhatikan kiprah dan kewajiban sebagai seorang pendidik
Menjadi pendidik tidak sebatas menyampaikan, namun harus memperhatikan kiprah dan kewajibannya sebagai seorang pendidik yang profesional, yang mendedikasikan seluruh jiwanya untuk pendidikan. Dalam konteks pendidikan Islam, al Ghazali menjelaskan perihal kiprah dan kewajiban guru dalam kitab “ihya’ ulumuddin” diantaranya ialah sebagai berikut:
  1. Memberikan kasih sayang kepada penerima didik dan memperlakukannya layaknya anak sendiri. Seorang pendidik sudah seharusnya menjadi pengganti dan wakil kedua orang renta anak didiknya, yaitu mengasihi anak didiknya menyerupai anaknya sendiri. Perlakuan yang demikian diperlukan sanggup menjembatani relasi psikologis antara guru dengan siswa menyerupai relasi naluriah antara orang renta dengan anaknya. Sehingga, dengan terjalinnya harmonisasi di antara keduanya, maka relasi diantaranya mengarah kepada tujuan-tujuan intrinsik pendidikan, yaitu bagaimana siswa mempunyai akhlakul karimah, mempunyai kognisi yang mumpuni serta sanggup dimanfaatkan dalam kehidupannya.
  2. Mengikuti teladan rasulullah. Syarat sebagai seorang pendidik, maka ia layak menjadi ganti Rasulullah SAW, dialah sebenar-benarnya ‘alim (berilmu, intelektual). Dengan demikian seorang guru hendaknya menjadi wakil dan pengganti Rasulullah yang mewarisi ajaran-ajarannya dan memperjuangkan dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga perilaku, perbuatan, dan kepribadian seorang pendidik harus mencerminkan ajaran-ajarannya, sesuai dengan adat Rasulullah saw.
  3. Menjadi teladan bagi siswa. Al Ghazali mengatakan: “seorang pendidik harus mengamalkan ilmunya, kemudian perkataannya. Karena bantu-membantu ilmu sanggup dilihat dengan mata hati. Sedangkan perbuatan sanggup dilihat dengan mata kepala”. Perkataan tersebut menjadi kritik tajam bagi pendidik, pendidik hendaklah mengamalkan seluruh yang diajarkannya serta mengamalkan semua ilmu pengetahuan yang diajarkannya.


4) Menciptakan dan membina komunikasi yang baik
Diantara kunci pelaksanaan taktik pendidikan berdasarkan konsep Islam diantaranya ialah melalui komunikasi (tabligh) yang baik, yaitu menjalin komunikasi yang serasi dan rasional dengan penerima didik. Ditinjau dari prosesnya, pendidikan ialah komunikasi. Artinya, dalam proses tersebut terlibat dua komponen yang terdiri atas pendidik sebagai komunikator dan penerima sebagai komunikan. Dalam proses pembelajaran, pesan yang akan dikomunikasikan ialah materi pelajaran ataupun didikan yang ada di dalam kurikulum.

5) Kreativitas tinggi: menjadi pendidik yang paripurna
Kreativitas ialah kemampuan untuk membuat atau menghasilkan sesuatu yang baru. Kreativitas pendidik sanggup difahami sebagai tindakan kreatif pendidik dalam membelajarkan penerima didiknya. Potensi kreativitas dalam agama Islam sanggup dikatakan sebagai fitrah, yaitu suatu potensi yang bersifat suci, positif dan siap berkembang mencapai puncaknya, yang didalamnya terdapat potensi-potensi fisik, pikir, rasa dan spiritual.

6) Mendidik dengan keteladanan: mencontoh adat Rasulullah
Al Qur’an telah memperlihatkan tumpuan bagaimana insan mencar ilmu lewat meniru. Kisah perihal Qabil yang sanggup mengetahui bagaimana menguburkan mayit saudaranya Habil yang telah dibunuhnya, diajarkan oleh Allah dari menggandakan seekor gagak yang menggali-gali tanah guna menguburkan bangkai seekor gagak yang lain. Kecenderungan insan untuk menggandakan mencar ilmu lewat peniruan, menjadikan keteladanan menjadi sangat penting artinya dalam pendidikan. Rasulullah ialah suri tauladan yang ideal bagi umat manusia. Sahabat dalam setiap kesempatan berusaha mencontoh sikap, cara dan adat beliau. Kemampuan Rasulullah mendidik sahabat-sahabatnya dengan keteladanan memberi side effect yang besar dalam membentuk abjad mereka.

7) Berdoa: awal dan simpulan kegiatan pendidikan
Doa bukan berarti sekedar permohonan untuk memperoleh kebaikan dunia dan akhirat. Namun, doa lebih bertujuan untuk menetapkan dan memantapkan langkah-langkah dalam upaya meraih kebaikan yang di maksud, alasannya doa diyakini mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Jika dalam proses pembelajaran selalu diawali dan diakhiri dengan doa, bukan hanya material ilmu belaka yang diperoleh melainkan kemanfaatan dan keberkahan dari ilmu tersebut pun diperoleh.

Merujuk pada esensi doa tersebut, seorang pendidik Islami diperlukan sanggup mengajak dan memotivasi siswa untuk berdoa terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai, demikian pula sebelum mengakhiri pembelajaran, alasannya ilmu yang diperoleh merupakan bab dari nikmat Allah SWT. Jadi, doa pada hakikatnya mempunyai posisi teologis yang strategis dalam proses pendidikan.

Rujukan:

M. Sobry, Reaktualisasi Strategi Pendidikan Islam: Ikhtiar Mengimbangi Pendidikan Global, Jurnal Studi Keislaman Ulumuna IAIN Mataram, Vol. 17, No 2, 

Posting Komentar untuk "Strategi Dalam Pendidikan Islam"