Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani
Jejak Pendidikan- Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani Syekh Nawawi dikenal sebagai ulama dan pemikir yang mempunyai pandangan dan pendidiran yang khas, dia konsisten dan berkomitmen kuat bagi usaha umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dia mempunyai caranya sendiri. Syekh Nawawi bernafsu dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tidak berarti dia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Syekh Nawawi lebih suka memperlihatkan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta acara dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT.
a. Bidang Syariah
Dalam bidang Syariah Islamiyah, Syekh Nawawi mandasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits, selain juga ijma dan qiyas. Empat pijakan ini mirip yang dipakai oleh pendiri Madzhab Syafiiyyah, yakni Imam Syafii. Mengenai ijtihad dan taklid. Syekh Nawawi Ijma berarti komitmen terhadap aturan suatu peristiwa, bahwa aturan tersebut merupakan aturan syara.
Qiyas berarti menyamakan aturan syara dalam satu kasus dengan kasus lain, lantaran keduanya mempunyai persamaan illat (cacat) atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya aturan syara bagi masing-masing. Ijtihad berarti mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari perkiraan (dzann) atas salah satu aturan syara dalam bentuk, dimana dari (pencariannya) merasa tidak bisa lagi melaksanakan lebih dari itu.
berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak ialah Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Bagi keempat ulama‟ tersebut, berdasarkan Syekh Nawawi haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat Imam madzhab tersebut. Pandangan dia ini mungkin dirasa agak berbeda degnan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Mengungkap jaringan intelektual para ulama‟ Indonesia sebelum organisasi Nahdlatul Ulama‟ berdiri, merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU.
Terlebih lagi bila ditarik hingga keterkaitannya dengan keberhasilan ulama‟-ulama‟ tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian ialah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama‟. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan yang dilakukan kebanyakan anak muda belakangan ini mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di badan NU juga mempunyai akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU bangun untuk Taqlid berarti melaksanakan pandangan orang lain tanpa hujjah (argumentasi) yang mengikat.
menyelamatkan tradisi keilmuan keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama‟ salaf. Figur ulama‟ mirip Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama‟ besar lengan berkuasa yang tipikal dari model pemikiran tersebut. Beliau memegang teguh mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukan keilmuan agama Islam. Besarnya dampak contoh pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani terhadap para tokoh ulama‟ Indonesia, Syekh Nawawi sanggup dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan Pesantren dan Nahdlatul Ulama. Oleh lantaran itu, di kalangan komunitas Pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama‟ penulis kitab, tapi dia juga dikenal sebagai mahaguru sejati dikarenakan telah berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di forum pendidikan Pesantren. Beliau turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri organisasi NU.
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi ialah guru utama Hasyim Asyari. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya tersebut, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya hingga meneteskan air mata lantaran besarnya kecintaan dia terhadap Syekh Nawawi.
b. Bidang Tasawuf
Menurut Syekh Nawawi tasawuf berarti training etika (adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq (kafir zindiq). Kaprikornus keduanya tidak sanggup dipisahkan dalam upaya training etika atau moral (adab).
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh ulama‟ terbesar, tapi dia juga dikenal sebagai seorang sufi yang berlian lantaran kemahiran dan kepintaran dia dalam bidang agama. Sejauh itu, dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan acara intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dari karya-karya yang dituliskannya Syekh Nawawi memperlihatkan seorang sufi brilian, dia banya mempunyai goresan pena di bidang tasawuf yang sanggup dijadikan sebagai acuan stradar bagi seorang sufi. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada guru dia yaitu Syekh Khatib Sambas, seorang Ulama‟ tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun dia mempunyai pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih gampang dari keterkaitan itu, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang sanggup diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat ialah hasil dari syariat dan tarekat. Pandangan ini mengidentifikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan anutan Islam, syariat. Paparan konsep tasawuf Syekh Nawawi tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama‟ salaf. Tema-tema yang dipakai tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang menciptakan Syekh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Berbeda dengan sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Syekh Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqih dan tasawuf. Beliau lebih mengikuti al-Ghazali dan dalam kitab tasawufnya “Salalim al-Fudlala” terlihat Syekh Nawawi bagai sosok seorang al-Ghazali di kala modern. Beliau lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf.
Dilihat dari pandangan dia perihal ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah sanggup diperoleh dengan proses ta‟allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajad „alim sedangkan ilmu bathin sanggup diperoleh melalui proses dzikir, muraqqabah, dan musyahadah sehingga mencapai derajad „Arif.50 Seorang hamba dibutuhkan tidak hanya menjadi „alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami belakang layar spiritual ilmu bathin.
4. Karomah dan Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
Ulama–ulama terdahulu niscaya mempunyai banyak sekali karomah yang tidak akan terjadi jikalau Allah tidak menghendaki. Begitu pula dengan Syekh Nawawi al-Bantani yang mempunyai beberapa karomah, diantaranya ialah ketika dia menulis syarah (ringkasan) kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak dia padam, padahal dikala itu sedang dalam perjalanan, kemudian dia berdo‟a kepada Allah SWT. apabila kitab yang ditulisnya bermanfaat buat kaum muslimin, maka mohon Allah memperlihatkan sinar biar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki dia mengeluarkan api, bersinar terang, dan dia meneruskan untuk menulis syarah hingga selesai.
Diantara karomah yang lain, yaitu nampak dikala beberapa tahun sehabis dia wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki mayit lain, tetapi petugas mengurungkan niatnya lantaran mayit Syekh Nawawi beserta kain kafan yang menutupi tubuhnya masih utuh, walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama‟ Indonesia yang bertaraf Internasional. Melalui karya-karyanya menimbulkan dia sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim. Tidak bisa dipungkiri kalau banyak kitab karangan dia yang diterbitkan di Mesir.
Seringkali dia hanya mengirimkan naskahnya dan sehabis itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Kitab-kitab karangan Syekh Nawawi menjadi pecahan dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filiphina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya dia dalam menyusun kitab sehingga banyak orang yang menjulukinya sebagai Imam Nawawi ke-dua, yang mana Imam Nawawi pertama ialah yang menciptakan Syarah Shahih Muslim, Riyadush Sholihin, dan lain-lain. Jumlah kitab karangan Syekh Nawawi al-Bantani yang populer dan banyak dipelajari di sebagian besar pesantren ada sekitar 22 kitab. Diantara karya-karyanya adalah: Kitab Muraqah As-Suud At-Tashdiq, syarah dari kitab Sulam at-Taufiq, Kitab Nihayatuz-Zain, syarah kitab Qurratul Ain, Kitab Tausiyah „Ala Ibn Qasim, syarah kitab Fathul Qarib, Kitab Tafsir al-munir yang dinamai Marabi Labidi Li Kasyfi Maani Al-Quran al-Majid, Kitab Kasyifatus Saja syarah kitab Safinatun Naja, Kitab Bidayatul Hidayah, Kitab Salalimul Fudlala‟, Kitab Nashoihul.
a. Bidang Syariah
Dalam bidang Syariah Islamiyah, Syekh Nawawi mandasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, yaitu al-Quran dan al-Hadits, selain juga ijma dan qiyas. Empat pijakan ini mirip yang dipakai oleh pendiri Madzhab Syafiiyyah, yakni Imam Syafii. Mengenai ijtihad dan taklid. Syekh Nawawi Ijma berarti komitmen terhadap aturan suatu peristiwa, bahwa aturan tersebut merupakan aturan syara.
Qiyas berarti menyamakan aturan syara dalam satu kasus dengan kasus lain, lantaran keduanya mempunyai persamaan illat (cacat) atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya aturan syara bagi masing-masing. Ijtihad berarti mengerahkan seluruh kemampuan dalam mencari perkiraan (dzann) atas salah satu aturan syara dalam bentuk, dimana dari (pencariannya) merasa tidak bisa lagi melaksanakan lebih dari itu.
berpendapat bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak ialah Imam Syafii, Imam Hanafi, Imam Hambali, dan Imam Maliki. Bagi keempat ulama‟ tersebut, berdasarkan Syekh Nawawi haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat Imam madzhab tersebut. Pandangan dia ini mungkin dirasa agak berbeda degnan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Mengungkap jaringan intelektual para ulama‟ Indonesia sebelum organisasi Nahdlatul Ulama‟ berdiri, merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU.
Terlebih lagi bila ditarik hingga keterkaitannya dengan keberhasilan ulama‟-ulama‟ tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian ialah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama‟. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan yang dilakukan kebanyakan anak muda belakangan ini mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di badan NU juga mempunyai akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU bangun untuk Taqlid berarti melaksanakan pandangan orang lain tanpa hujjah (argumentasi) yang mengikat.
menyelamatkan tradisi keilmuan keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama‟ salaf. Figur ulama‟ mirip Syekh Nawawi al-Bantani merupakan sosok ulama‟ besar lengan berkuasa yang tipikal dari model pemikiran tersebut. Beliau memegang teguh mempertahankan tradisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukan keilmuan agama Islam. Besarnya dampak contoh pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani terhadap para tokoh ulama‟ Indonesia, Syekh Nawawi sanggup dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan Pesantren dan Nahdlatul Ulama. Oleh lantaran itu, di kalangan komunitas Pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama‟ penulis kitab, tapi dia juga dikenal sebagai mahaguru sejati dikarenakan telah berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di forum pendidikan Pesantren. Beliau turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri organisasi NU.
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi ialah guru utama Hasyim Asyari. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya tersebut, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya hingga meneteskan air mata lantaran besarnya kecintaan dia terhadap Syekh Nawawi.
b. Bidang Tasawuf
Menurut Syekh Nawawi tasawuf berarti training etika (adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu bathin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq (kafir zindiq). Kaprikornus keduanya tidak sanggup dipisahkan dalam upaya training etika atau moral (adab).
Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai seorang tokoh ulama‟ terbesar, tapi dia juga dikenal sebagai seorang sufi yang berlian lantaran kemahiran dan kepintaran dia dalam bidang agama. Sejauh itu, dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan acara intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dari karya-karya yang dituliskannya Syekh Nawawi memperlihatkan seorang sufi brilian, dia banya mempunyai goresan pena di bidang tasawuf yang sanggup dijadikan sebagai acuan stradar bagi seorang sufi. Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada guru dia yaitu Syekh Khatib Sambas, seorang Ulama‟ tasawuf asal Jawa yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun dia mempunyai pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih gampang dari keterkaitan itu, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang sanggup diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida‟i) seorang sufi, sementara hakikat ialah hasil dari syariat dan tarekat. Pandangan ini mengidentifikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan anutan Islam, syariat. Paparan konsep tasawuf Syekh Nawawi tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama‟ salaf. Tema-tema yang dipakai tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang menciptakan Syekh Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Berbeda dengan sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Syekh Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqih dan tasawuf. Beliau lebih mengikuti al-Ghazali dan dalam kitab tasawufnya “Salalim al-Fudlala” terlihat Syekh Nawawi bagai sosok seorang al-Ghazali di kala modern. Beliau lihai dalam mengurai
kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf.
Dilihat dari pandangan dia perihal ilmu alam lahir dan ilmu alam bathin. Ilmu lahiriyah sanggup diperoleh dengan proses ta‟allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajad „alim sedangkan ilmu bathin sanggup diperoleh melalui proses dzikir, muraqqabah, dan musyahadah sehingga mencapai derajad „Arif.50 Seorang hamba dibutuhkan tidak hanya menjadi „alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami belakang layar spiritual ilmu bathin.
4. Karomah dan Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani
Ulama–ulama terdahulu niscaya mempunyai banyak sekali karomah yang tidak akan terjadi jikalau Allah tidak menghendaki. Begitu pula dengan Syekh Nawawi al-Bantani yang mempunyai beberapa karomah, diantaranya ialah ketika dia menulis syarah (ringkasan) kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak dia padam, padahal dikala itu sedang dalam perjalanan, kemudian dia berdo‟a kepada Allah SWT. apabila kitab yang ditulisnya bermanfaat buat kaum muslimin, maka mohon Allah memperlihatkan sinar biar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki dia mengeluarkan api, bersinar terang, dan dia meneruskan untuk menulis syarah hingga selesai.
Diantara karomah yang lain, yaitu nampak dikala beberapa tahun sehabis dia wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki mayit lain, tetapi petugas mengurungkan niatnya lantaran mayit Syekh Nawawi beserta kain kafan yang menutupi tubuhnya masih utuh, walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Syekh Nawawi al-Bantani merupakan seorang ulama‟ Indonesia yang bertaraf Internasional. Melalui karya-karyanya menimbulkan dia sangat dikenal di kalangan masyarakat muslim. Tidak bisa dipungkiri kalau banyak kitab karangan dia yang diterbitkan di Mesir.
Seringkali dia hanya mengirimkan naskahnya dan sehabis itu tidak memperdulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Kitab-kitab karangan Syekh Nawawi menjadi pecahan dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filiphina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya dia dalam menyusun kitab sehingga banyak orang yang menjulukinya sebagai Imam Nawawi ke-dua, yang mana Imam Nawawi pertama ialah yang menciptakan Syarah Shahih Muslim, Riyadush Sholihin, dan lain-lain. Jumlah kitab karangan Syekh Nawawi al-Bantani yang populer dan banyak dipelajari di sebagian besar pesantren ada sekitar 22 kitab. Diantara karya-karyanya adalah: Kitab Muraqah As-Suud At-Tashdiq, syarah dari kitab Sulam at-Taufiq, Kitab Nihayatuz-Zain, syarah kitab Qurratul Ain, Kitab Tausiyah „Ala Ibn Qasim, syarah kitab Fathul Qarib, Kitab Tafsir al-munir yang dinamai Marabi Labidi Li Kasyfi Maani Al-Quran al-Majid, Kitab Kasyifatus Saja syarah kitab Safinatun Naja, Kitab Bidayatul Hidayah, Kitab Salalimul Fudlala‟, Kitab Nashoihul.
Posting Komentar untuk "Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani"