Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembelajaran Integratif Agama Dan Sains

Integrasi Agama dan Sains
Jejak Pendidikan- Pandangan Islam, kekerabatan antara sains dan agama bukanlah suatu persoalan yang besar. Alasannya, sains hanyalah sebagian dari limu atau „ilm, yang berasal dari kata dasar „alama yang berarti mengetahui. Jadi, secara intrinsic tidak ada kontradiksi antar sains dan islam. Sains dalam pengertiannya yang modern ialah pengembangan dari filsafat alam yang merupakan cuilan dari filsfat yang menyeluruh dalam khazanah keilmuan Yunani. Namun, filsfat Yunani terlalu deduktif, yang lebih mendasarkan pada pemikiran spekulatif. Karena itu, perlu dilengkapi dengan pengamatan empiris sebagaimana yang diperintahkan dalam Al-Quran. Pada kala ke-20, interaksi antara agama dan sains mengambil bermacam-macam bentuk. Temuan-temuan gres dalam sains menantang gagasan-gagasan keagamaan klasik. Sebagai respon atasnya, beberapa orang berusaha mempertahankan kepercayaan tradisional, beberapa meninggalkan tradisi, dan beberapa merumuskan kembali konsep keagamaan secara ilmiah.

Albert Enstein, seorang ilmuan terkemuka pada kala yang telah lalu, dikenal juga dengan keyakinannya kepada Tuhan. Dia tidak ragu mendukung bahwa sains tidak akan ada tanpa agama. Sebagaimana yang dikatakannya: “Saya tidak bisa membayangkan ilmuan sejati tanpa kelimuan mendalam. Situasi ini bisa dinyatakan dengan gambaran: sains tanpa agama akan lumpuh.” Sains dan agama sering dipandang bermusuhan atau dalam pertempuran hidup mati. Namun konflik ini bahu-membahu bisa saja sanggup dielakkan jikalau saja sains dan agama bersifat independen, masing-masing menempati domain yang terpisah dan jarak yang kondusif satu sama lain. Lazim dikatakan bahwa sains menulusuri kekerabatan sebab-akibat antar peristiwa, sedangkan agama mencari makna dan tujuan hidup. Dua pencarian ini menyampaikan perspektif yang saling melengkapi wacana dunia, masing-masing berdiri sendiri, terpisah, dan tidak terlibat kekerabatan konflik.

Namun beberapa orang sekarang berupaya mencari kemitraan yang konstruktif antara keduanya. Mereka mendapati bahwa sains telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab sendiri. Beberapa orang menyadari keterbatasan disiplin mereka dan tidak mengklaim telah mengantongi seluruh jawaban. Mereka berprinsip bahwa kita sanggup berguru satu sama lain. Beberapa teolog berupaya merumuskan kembali gagasan-gagasan tradisional wacana Tuhan dan insan dengan mempertimbangkan temuan-temuan sains sembari berpegang teguh pada pedoman utama agama mereka.

Agama selalu mendorong pencarian pengetahuan, terutama pengetahuan wacana dunia, yang Tuhan ciptakan untuk manusia. Semua agama menekankan bahwa kita harus mangamati hal-hal di sekeliling kita untuk melihat ayat-ayat Tuhan di mana-mana, lantaran dunia menampakkan keindahan dan keagungan, pengetahuan, dan cinta Tuhan. Ini ialah pedoman al-Quran, Taurat dan Injil. Di Barat sekarang muncul anggapan bahwa Nasrani ialah sesuatu yang istimewa, dan bahwa Tuhan mencapai nalar dan kebebasan pada diri manusia, melalui kejadian Inkarnasi (Embodiment). Menurut gagasan ini, Nasrani telah membuka jalan bagi sains modern yang kemudian mencul di Barat. Inilah pemahaman modern teologi Nasrani berbeda dengan pemahaman teologi Nasrani kala pertengahan.

Seperti telah disebutkan di atas, agama mendorong sains. Mereka yang memakai kecerdikan dan mengikuti nurani untuk melaksanakan penelitian ilmiah, akan memperoleh keyakinan yang berpengaruh lantaran mereka memahami tanda-tanda Tuhan secara langsung. Mereka dihadapkan pada suatu system tak bercela dan detail tepat yang diciptakan Tuhan di tiap tahapan penelitian yang mereka kerjakan, dan di tiap inovasi yang mereka buat. 
Seperti dinyatakan Rasulullah Muhammad saw; mereka bertindak dengan kesadaran bahwa Orang yang pergi untuk mencari pengetahuan ialah orang yang taat (beriman) pada Allah sampai ia kembali.

Itulah sebabnya, di tangan ilmuwan muslim, sains berkembang dengan pesat. Pengujian eksperimental menjadikan sains menjadi kukuh. Dengan demikian, di tangan ilmuwan muslim, sains memperoleh karakternya yang rasional objektif selama gelombang pertama peradaban Islam. Namun, rasionlitas sains tak bias dilepaskan dari rasionalitas religius lantaran teologi, filsafat, dan sains merupakan kesatuan integral.

Penggabungan antara ilmu umum dan ilmu agama, maka integrasi ilmu ini erat dengan islamisasi ilmu, keduanya merupakan upaya mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keislaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global. Kritik epistemologis, dalam perkiraan penyusun, ialah berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern. Kemunculan wangsit “penyatuan ilmu islam dan ilmu umum” dan atau “pengislaman ilmu umum” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan tanggapan eksklusif keterpisahan antara sains dan agama. Sekularisme telah menciptakan sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.

Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur kekerabatan insan dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang bahu-membahu disebut syari‟at. Kitab suci al-Quran merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan sanggup menjadi teologi ilmu serta grand teori ilmu. Tidak dipungkiri, agama memang mengklaim dirinya sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Walaupun dalam posisinya menyerupai itu, agama tidak pernah menset-upkan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh lantaran itu, dalam perspektif ini, sumber pengetahuan terdiri dari dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.

Agama menyediakan menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), tujuan –tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum insan keluar membuatkan ilmu. Selain ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness). Dalam halnya sebagai paradigma keilmuan yang menyatu-padukan antara ilmu umum dan ilmu agama, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran insan (ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak akan berakibat mengkerdilkan kapasitas Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan insan sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme keilmuan akan sanggup menuntaskan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.

Pembelajaran Integratif Agama dan Sains
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris integrate; integration yang kemudian disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan; penggabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan. Adapun secara terminologis, integrasi ilmu ialah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.

Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini ialah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini lantaran –sebagaimana dijelaskan diawal pendahuluan- keberadaannya yang saling membutuhkan dan melengkapi. Seperti yang dirasakan oleh negara-negara di belahan dunia sebelah Barat yang populer canggih dan maju di bidang keilmuan dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari akan perlunya peninjauan ulang mengenai dikotomisme ilmu yang terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah mereka kembangkan, terlebih nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata pergaulan dengan alam yang merupakan ekosistem kawasan tinggal manusia.

Meninjau begitu urgennya kapasitas agama dalam kehidupan manusia, maka sepatutnya agama dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan ilmu. Karena perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi dengan kemajuan nilai religinya, menjadikan terjadinya gap, jurang. Akibat meninggalkan agama, ilmu secara besar kepala mengeksploitasi alam sehingga terjadi banyak sekali kerusakan ekosistem. Ketika insan secara berangsur-angsur sanggup mengenal sifat dan sikap alam, dan selanjutnya sanggup mengendalikan, mengolah dan memanfaatkannya dengan ilmu dan kecerdikan mereka; maka sifat dan sikap alam yang tadinya sangat ditakuti mereka secara berangsur-angsur tidak lagi menakutkan. Konsep ketuhanan merekapun bergeser. Ada yang menyampaikan bahwa agama tidak lebih dari objek pelarian insan yang gagal menghadapi serta mengatasi problema kehidupannya; atau merupakan hasil tahap perkembangan yang paling ndeso dari suatu masyarakat; atau sekedar obsesi insan tatkala mereka masih berusia kanak-kanak. Mengapa demikian? Sebab, sebagai contoh, dengan kemjauan sains dan teknologi sanggup diketahui bahwa gempa terjadi lantaran adanya pergeseran atau patahan kulit bumi, bukan lantaran Allah murka, sehingga insan tidak perlu takut lagi.

Di samping itu, meninjau ke ranah psikis batiniyah, sebagai misal, orang Barat yang terdepan dalam keilmuan dan sebagai kiblat kemajuan teknologi, sebagian mereka hidup –jika ditinjau dari kacamata islam- tidak sejahtera, tidak tentram dan tidak tenang. Kehidupan mereka kelihatan semrawut, bebas tanpa aturan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sentuhan-sentuhan nilai-nilai religi lantaran ilmunya-pun telah terdikotomikan dari ilmu agama.

Konsep integrasi ilmu diimplementasikan dalam banyak sekali level, yaitu:

1. Level Filosofis
Integritas dan interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa di dalamnya harus diberikan nilai mendasar eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqh misalnya, di samping makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun kekerabatan antara manusia, alam dan Tuhan dalam pedoman Islam, dalam pengkajian fiqh harus disinggung pula bahwa keberadaan fiqh tidaklah berdiri sendiri atau bersifat self-sufficient, melainkan berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap dislipin keilmuan lainnya menyerupai filsafat, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.

Demikian juga dalam hal pengkajian ilmu umum menyerupai sosiologi. Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji interaksi sosial antar insan akan menjadi terberdayakan dengan baik apabila pengajar sosiologi –sebagai salah satu unsur dari proses transferisasi ilmu- juga mengajak penerima didik untuk mereview teori-teori interaksi sosial yang sudah ada dalam tradisi budaya dan agama. Interkoneksitas menyerupai ini akan saling memberdayakan antara sosiologi di satu pihak dan tradisi budaya atau keagamaan di pihak lain. Pada level filosofis dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensial suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya termasuk di dalamnya agama dan budaya.

2. Level Materi
Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga model pengejawantahan interkoneksitas keilmuan antar disiplin keilmuan. Pertama, model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum, lantaran hal ini terkait dengan forum penyelenggara pendidikan. Kedua, model penamaan disiplin ilmu yang memperlihatkan kekerabatan antara disiplin ilmu umum dan keislaman. Model ini menuntut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam, menyerupai ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, sastra Islam, pendidikan Islam, filsafat Islam dan lain sebagainya sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan. Ketiga, model pengintegrasian ke dalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menuntut dalam setiap pengajaran disiplin ilmu keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara keduanya, dan begitupun sebaliknya.

3. Level Metodologi
Dalam konteks struktur keilmuan Lembaga pendidikan yang bersifat integratif-interkonektif menyentuh pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, contohnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologis ilmu interkonektif tersebut harus memakai pendekatan dan metode yang kondusif bagi ilmu tersebut. Sebagai pola pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman, dianggap lebih kondusif ketimbang pendekatan lain yang mengandung bias anti agama menyerupai psikoanalisis. Dari segi metode penelitian sepertinya tidak menjadi persoalan lantaran dikala suatu penelitian dilakukan secara obyektif baik dengan memakai metode kuesioner, wawancara atau yang lainnya, maka alhasil kebenaran objektif. Kebenaran menyerupai ini justru akan mendukung kebenaran agama itu sendiri.

4. Level Strategi
Yang dimaksud level taktik di sini ialah level pelaksanaan atau praksis dari proses pembelajaran keilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan pengajar menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigma interkoneksitas. Di samping kualitas-kualitas ini, pengajar harus difasilitasi dengan baik menyangkut pengadaan sumber bacaan yang harus bermacam-macam serta bahan-bahan pengajaran (teaching resources) di kelas. Demikian pula pembelajaran dengan model pembelajaran active learning dengan banyak sekali taktik dan metodenya menjadi keharusan.

Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para andal mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus memakai metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang bisa mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri ialah metode. Kedua, Psikologi Islam ialah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus memakai metode yang bermacam-macam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.

Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, persoalan yang bersifat konseptual, Kedua, persoalan yang bersifat operasional. Masalah konseptual mencakup aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang persoalan yang bersifat operasional ialah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.

Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak sanggup dipisahkan, keduamya saling bekerjasama erat, lantaran ilmu merupakan fungsionalisasi pedoman wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu biar kau mengeluarkan insan dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji (QS. Ibrahim/14:1).

Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui keberadaan Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan selesai untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-„alamin). Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang sanggup diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam persoalan ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam memilih kebenaran epistemologik. Dengan demikian, dasar epistemologinya ialah kekerabatan (nisbah) kecerdikan dan intuisi. Perlu diingat bahwa Psikologi Islam ialah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia mempunyai kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.

Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami insan sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling sanggup diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma menyerupai insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb sanggup dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu sanggup mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala.  Psikologi Islam cuilan dari Tasawuf Islam, oleh lantaran itu metodologi tasawuf sanggup pula dijadikan patokan untuk memilih Metodologi  Psikologi Islam. Sebagai pola metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya „Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al- Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya ialah nisbah kecerdikan dan intuisi, dan dasar ontologinya ialah terma-terma menyerupai al-aql, al-nur dan etika atau moral.


Rujukan:
  1. Alim Roswantoro dalam Mengukir Prestasi di Jalur Khusus, (Yogyakarta: Penerbit Pendi Pontren Depag RI, 2007), Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta:Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996).
  2. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991).
  3. Bruno Guiderdoni, Membaca Alam Membaca Ayat. Bandung; Mizan, 2004).
  4. Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi: Revolusi Integralisme Islam. (Bandung; Mizan, 2004)
  5. Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan. (Bandung; Mizan, 2002).
  6. Armahedi Mahzar, Revolusi Integraslime Islam: Dialog Sains dan Agama: Pendekatan Komparatif Integralisme Islam. Bandung; Mizan, 2004).
  7.  Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2006).
  8. John M. Echlos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003).
  9.  Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994).
  10. Rif'at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).

Posting Komentar untuk "Pembelajaran Integratif Agama Dan Sains"