Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Keluarga Di Mesir

hukum  keluarga di mesir
Jejak Pendidikan- Berikut kami menjelaskan aturan keluarga di mesir ihwal ketentuan-ketentuan yang berafiliasi dengan aturan perkawinan,  hak asuh anak (hadhanah), perkawinan beda kewarganegaraan, ketentuan pidana dalam uu perkawinan, hak kewarisan kakek

1.    Ketentuan-ketentuan yang berafiliasi dengan aturan perkawinan 
a. Pencatatan Perkawinan
Usaha untuk memutuskan pencatatan perkawinan di Mesir di mulai dengan terbitnya Ordonasi 1880 yang berisi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pegawai-pegawai pencatat nikah dan dasar-dasar pemilihan dan pengangkatan mereka serta menyerahkan pelaksanaan pencatatan nikah kepada kemauan para pihak yang berakad dan pertimbangan kepentingan mereka.

Ordonasi tahun1880 itu diikuti dengan lahirnya ordonasi tahun 1897 yang pasal 31-nya menyatakan bahwa “gugatan masalah nikah atau ratifikasi adanya hubungan perkawiann tidak akan didengar oleh pengadilan sesudah meninggalnya salah satu pihak apabilatidak dibuktikan dengan adanya suatu dokumen yang bebas dari dugaan pemalsuan”. Tampak  bahwa pasal ini mengandung persyaratan adanya dokumen yang diduga tidak palsu supaya dapatdijadikan dasar keputusan.

b. Usia Perkawinan
Dalam bidang perkawinan di Mesir mempunyai undang-undang mengenai batas minimum usia ijab kabul yaitu bagi laki-laki 18 Tahun dan bagi perempuan 16 Tahun. Jika umur mereka yang akan melangsungkan ijab kabul kurang dari ketentuan diatas maka ijab kabul tidak boleh dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan Bab 99 UU No 78 Tahun 1931.

Ada dua hal untuk mengetahui umur seseorang agar sesuai dengan ketentuan UU yaitu: Akte Kelahiran atau berupa surat resmi yang sanggup menaksir tanggal kelahiran seseorang, dan akta kesehatan yang memperlihatkan taksiran tanggal atau data kelahiran yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan atau Pusat Kesehatan setempat. Jika keduanya atau salah satu pihak calon suami atau istri tidak memenuhi ketentuan umur perkawinan dalam UU tersebut, maka dihentikan untuk melaksanakan registrasi perkawinan.

c. Mahar
Jika terjadi sengketa antara pasangan suami istri mengenai jumlah mahar, istri harus sanggup mengambarkan gugatannya tersebut. Apabila istri tidak sanggup membuktikan, maka sumpah suami yang dijadikan dasar putusan, kecuali bila suami menyatakan jumlah yang tidak masuk akal senilai jumlah mahar mitsli status istrinya tersebut.

Di Mesir pengantin lelaki harus menyediakan rumah yang mafrusyah (fasilitas isinya lengkap, semenjak kasur, bantal hingga sabun mandi). Tradisi lokal di kota Fayoum, sekitar 100 km di timur Kairo, seorang mempelai lelaki harus menyediakan uang 3 ribu Pound Mesir (500 Dolar AS), emas murni senilai 2500 Pound dan juga tentu saja, pendapatan tetap, itu belum termasuk rumah tinggal. Sementara, harga sebuah rumah yang mafrusyah di tempat itu sanggup mencapai 80 ribu Pound (13 ribu Dolar AS). Di kota besar seperti Kairo, dalam duduk masalah mahar, orang Mesir, konon, tidak macam-macam ; cukup dengan peralatan shalat, atau kitab suci AlQuran. Biaya hidup bulanan seorang isteri Mesir, nampaknya, juga sangat tinggi. akhir mahalnya biaya nikah ini, lelaki Mesir banyak yang lambat nikah.

d. Ketentuan ihwal pertolongan nafkah
Suami berkewajiban memperlihatkan nafkah kepada istri semenjak perkawinan disahkan meskipun istri tersebut kaya atau beda agama. Penyakit istri tidak menghalangi hak istri untuk mendapatkan nafkah. Nafkah meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan lainnya yang diakui oleh hukum. Suami tidak berkewajiban member nafkah bila istri murtad, atau menolak untuk hidup bersama tanpa bantalan an, atau pergi tanpa izin suaminya.[1]

e. Putusnya perkawinan
Di Mesir hingga terbitnya Undang-Undang Tahun 1979 ihwal beberapa ketentuan aturan keluarga  menghendaki dibatasinya hak talak suami dengan cara mewajibkannya mencatatkan talak pada waktu dijatuhkan dan memberitahukan kepada isterinya. Jika tidak, ia sanggup dikenai hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan dan denda sebanyak-banyaknya dua ratus pound, dan talak hanya menimbulkan akhir aturan semenjak dari tanggal diketahuinya oleh isteri. Undang-undang itu juga memutuskan untuk janda yang ditalak sesudah dicampuri suatu pertolongan mut`ah yang besarnya sama dengan nafkah selama dua tahun. Di Mesir Pengucapan Talak Tiga hanya jatuh satu talak. Semua pengaturan ini dilakukan untuk melindungi hak-hak perempuan.

f. Penyelesaian Perselisihan
Jika seorang istri menuduh suaminya telah berbuat kejam dan mustahil melanjutkan kekerabatan perkawinannya, istri sanggup mengajukan permohonan cerai kepada hakim. Dan hakim harus memutuskan perceraian keduanya bila tuduhan istri sanggup dibuktikan dan tidak sanggup didamaikan. Tetapi bila hakim menolak permohonan cerai istri, dan kemudian istri mengulangi tuduhannya tetapi tidak sanggup mengambarkan tuduhan tersebut, hakim akan menunjuk dua orang sebagai juru damai. 

g. Aturan Poligami
Mesir memperbolehkan praktek poligami dengan adanya kesempatan isteri untuk mengajukan gugat cerai alasannya poligami tersebut sebagaimana diatur dalam UU No. 100 tahun 1985. Dalam bahan UU tersebut ditentukan bahwa poligami sanggup menjadi alasan perceraian bahwa poligami sanggup menjadi alasan perceraian bagi isteri dengan alasan, poligami menjadikan kesusahan ekonomi, baik dicantumkan dalam taklik talak maupun tidak. Bila suami berencana poligami harus seizin pihak pengadilan dan pengadilan harus memberitahukan kepada isterinya ihwal planning poligami tersebut. Dalam pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985 dinyatakan:
seorang yang akan menikah harus menjelaskan status perkawinannya pada formulir pencatatan perkawinan. Bagi yang sudah mempunyai isteri harus mencantumkan nama dan alamat isteri-isterinya. Pegawai pencatat harus memberitahukan isterinya ihwal planning perkawinan tersebut. Seorang isteri yang suaminya menikah lagi dengan perempuan lain sanggup minta cerai atas dasar kemudaratan ekonomi yang diakibatkan oleh poligami, dan menjadikan mustahil hidup bersama dengan suaminya secara rukun. Hak cerai sanggup berlaku, baik ditetapkan ataupun tidak dalam taklik talak. Jika hakim tidak berhasil mendamaikan, maka perceraianlah yang terjadi. Hak isteri hilang dengan sendirinya kalau ia tidak memintanya dalam selama waktu satu tahun dan beliau mengetahui perkawinan dimaksud. Tetapi, hak ini tetap menjadi hak isteri setiap kali suaminya menikah lagi. Seorang isteri yang dinikahi dan tidak mengetahui kalau suaminya telah mempunyai isteri, berhak minta cerai segera sesudah mengetahuinya.”

Berdasarkan pasal ini maka ada beberapa ketentuan mengenai poligami:
a.    Adanya pemberitahuan kepada isteri oleh pencatat nikah ihwal ijab kabul suaminya.
b.    Isteri sanggup mengajukan somasi cerai dengan alasan poligami suaminya dalam waktu satu tahun.
c.    Hak cerai gugat isteri gugur sesudah satu tahun, dan
d.    Jika sebelumnya isteri tidak mengetahui poligami tersebut maka ia berhak minta cerai sesudah mengetahuinya.

Dengan demikian, untuk melaksanakan poligami lebih longgar daripada di Negara Islam lainnya. Walaupun demikian, hukuman terhadap pelanggaran ketentuan poligami termasuk tindak pidana.

i. Ketentuan mafqud (orang hilang)
Pengadilan sanggup memutuskan selesai hidup seseorang  sesudah empat tahun terhitung sejak hilangnya orang tersebut. Setelah putusnya perkawinan menurut hilangnya suami, istri menikah dengan orang lain, kemudian mantan suami kembali, maka perkawinan kedua istri tetap berlaku.


j. Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah mulai pertama diperkenalkan oleh ulama Mesir yang melalui aturan waris tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak maka si cucu itu menggantikan ayahnya yang mewarisi kakeknya atau neneknya dengan cara memperoleh wasiat wajibah tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun yang memutuskan wasiat wajibah itu ialah pengadilan, alasannya si mati memenag tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini diajukan ulama Mesir untuk menegakkan keadilan dan membantu cucu yatim. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan.

k. Hak asuh anak (hadhanah)
Sesuai dengan Bab 20 UU No 100 Tahun 1985 bahwa pengurusan/pengasuhan bagi anak perempuan berlangsung duabelas tahun sedangkan untuk anak laki-laki selama sepuluh tahun. Dan boleh bagi hakim untuk memutuskan bagi anak laki-laki masih berada dalam asuhan salah satu pengasuh hingga berumur lima belas tahun dan bagi anak perempuan hingga ia menikah. Sedangkan tempat tinggal/rumah anak yaitu kewajiban dari sang ayah, ia berkewajiban untuk menyediakan rumah yang layak bagi anaknya dan pengasuhnya, bila ia telah besar maka anak tersebut sanggup kembali ke rumah ayahnya. Hal ini sesuai dengan Bab 18 UU No 100 Tahun 1985 tentang hak asuh anak.[2]

l. Khulu’
Khulu` yaitu pertolongan hak meminta cerai kepada istri terlepas dari apakah suaminya mengizinkan atau tidak asalkan ia mengembalikan sebagian atau seluruh hak finansialnya.

Menurut empat mazhab, khulu` sanggup diberikan walaupun tidak ada alasan legal bagi perceraian, yaitu bila perempuan tidak ingin meneruskan perkawinan. Tetapi di masa modern, khulu` dipakai ketika isteri disakiti dan dilecehkan serta dipukul suami. Mereka seringkali harus melepaskan hak finansial sebagai ganti keputusan cerai dari pengadilan.Dalam UU Mesir dinyatakan bahwa khulu` boleh diberikan kepada seorang isteri hanya sesudah hakim berusaha dan gagal merukunkan pasangan tersebut serta dengan intervensi perantara dari pihak suami dan Isteri.

m. Perkawinan Beda Kewarganegaraan
Hal kawin campur terdapat dalam Law No. 68 tahun 1947 yang diamandemen oleh Law No. 103 tahun 1976 yang memindahkan pasal 2, 5, 6, 9 dan 12 kepada peraturan baru. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa notaris, sebelum mencatat perkawinan harus memperjelas identitas kedua mempelai. Jika terdapat perkawinan antara perempuan Mesir dengan laki-laki non Mesir, maka Dinas Perkawinan harus memastikan hal-hal berikut:
a.       Kehadiran mempelai laki-laki ketika akad.
b.      Perbedaan umur antara keduanya tidak lebih dari 25 tahun.
c.       Pihak laki-laki harus menyertakan dua buah setifikat dari negara asal atau kedutaannya. Pertama menyatakan bahwa negara asal tidak melarang ijab kabul itu dan kedua menggambarkan identitasnya meliputi Tempat dan Tanggal Lahir, agama, pekerjaan, tempat di negara asal, status perkawinan, jumlah isteri dan anak, sirkulasi keuangan dan sumber penghasilan. Kedua akta itu harus ditandatangani oleh pihak pemerintahan Mesir.
d.      Kedua mempelai harus mempunyai Akta Kelahiran atau surat resmi lain yang memperlihatkan tanggal lahir.

Dalam hal ini maka terperinci Hukum Keluarga Mesir menitikberatkan pada legalitas pihak aneh memperbolehkan untuk menikahi warganegaranya, tanpa ada persyaratan yang memberatkan.

n. Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan
Ketentuan Pidana dalam Perkawinan menyangkut pada pelanggaran ketentuan poligami, yakni suami yang melanggar pasal 11A  UU No. 100 tahun 1985  sanggup diberikan hukuman hukuman penjara atau denda, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 23A UU no. 100 tahun 1985, yaitu: seorang yang menceraikan isterinya, bertentangan dengan aturan yang ada dalam pasal 5A undang-undang ini, sanggup dieksekusi dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda 200 pound Mesir atau kedua-duanya. Sama juga dengan orang yang menciptakan ratifikasi palsu. Kepada pegawai pencatat yang lalai atau gagal melaksanakan tugasnya sanggup dieksekusi dengan hukuman penjara maksimal satu bulan dan dengan hukuman denda maksimal 50 pound Mesir. Pegawai yang bersangkutan sanggup dinonaktifkan selama maksimal satu tahun.

2.    Ketentuan-ketentuan yang Berhubungan dengan Kewarisan dan Wasiat
Undang-undang No. 77 tahun 1943 ihwal kewarisan sebagian besar diadopsi dari mazhab Hanafi, namun dalam beberapa masalah terdapat aturan yang berbeda dari mazhab hanafi. Berikut ketentuan aturan waris yang berlaku di mesir:

a. Prioritas biaya pemakaman.
Biaya pemakaman merupakan prioritas yang harus dikeluarkan sebelum hutang. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat Hanafi.

 b. Pembunuh pewaris sebagai penghalang mewarisi
Ketentuan aturan syari’ah, bahwa spesialis waris yang membunuh pewaris akan terhalang dari mendapatkan warisan, sedangkan mengenai jenis membunuh sengaja atau tidak sengaja yang menghalangi mendapatkan warisan terdapat perbedaan pendapat. Mazhab Hanafi memutuskan semua jenis membunuh sanggup menghalangi andal waris mendapatkan warisan. Sedangkan Maliki memutuskan hanya membunuh yang sengaja yang sanggup menghalangi mewarisi. Undang-undang (1943) Mesir mengadopsi pendapat Maliki tersebut. Pasal 5 menyebutkan bahwa “salah satu kendala andal waris mendapatkan warisan yaitu andal waris yang sengaja telah menimbulkan selesai hidup pewaris, baik oleh dirinya sendiri, atau membantu membunuh, atau sebagai saksi yang kesaksiannya tersebut pewaris dieksekusi, sedangkan andal waris dalam keadaan waras dan telah berusia lima belas (15) tahun.

c. Kasus Himariya
Saudara-saudari seibu dalam aturan warisan Islam ditempatkan sebagai andal waris ashabul furud, sementara saudara-saudari sekandung (seayah seibu) apabila bersama andal waris lain sebagai andal waris peserta sisa. Dalam kasus-kasus tertentu dengan rujukan distribusi, saudara-saudari sekandung tidak mendapatkan warisan sementara saudara-saudari seibu tidak terpengaruh sama sekali bagiannya alasannya potongan saudara-saudari ibu mendapatkan saham tetap dalam Al-Qur’an. Kasus ini dikenal dengan masalah Himariya. UU No. 77/1943 pasal 10 memutuskan saudara-saudari sekandung gotong royong mengambil potongan saudara-saudari seibu (1/3) sebagaimana pendapat Syafi’i dan Maliki.

d. Hak kewarisan kakek
Dalam aturan waris Islam terdapat pendapat yang bertentangan dalam hal kakek mewarisi gotong royong saudara sekandung/seayah. Hanafi dan Hanbali beropini bahwa kakek menghijab semua saudara, sementara Maliki dan Syafi’I menyamakan posisi kakek dengan saudara-saudara. Dalam UU No. 77/1943 pasal 6 berlaku bahwa potongan kakek tidak akan menghipnotis potongan saudari yang posisinya sebagai andal waris ashabul furudh. Tetapi apabila kakek bersama dengan saudara yang posisinya sebagai ashabah, maka kakek dianggap sebagai saudara. Aturan ini merupakan kombinasi antara pendapat Ali ra dan pendapat Syafi’I dan Maliki.

e. Ketentuan ihwal Raad (pengembalian sisa lebih)
Jika tidak ada andal waris ashabah, maka sisa harta beralih kepada suami/istri yang masih hidup sebanding dengan pecahan saham mereka. Dengan demikian UU Mesir memungkinkan janda/duda mengambil seluruh harta ketika pewaris tidak meninggalkan andal waris ashabah dan andal waris nasab. Ketentuan ini bertentangan dengan pendapat Hanafi yang yang tidak memperlihatkan rad kepada janda/duda


[1]UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985.  Personal law, hal. 32.

[2] UU No. 25 tahun 1920 diamandemen dengan UU No. 25 tahun 1929 dan UU No. 100 tahun 1985, pasal 20.

Posting Komentar untuk "Hukum Keluarga Di Mesir"