Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dasar Aturan Hak Bimbing Anak (Hadhanah)

pada prinsipnya aturan memelihara dan mendidik Dasar Hukum Hak Asuh Anak (Hadhanah)

- Dalam pandangan islam pada prinsipnya aturan memelihara dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua, anak yang tidak dipelihara akan terancam keselamatannya, hal merujuk pada pedoman aturan Islam yaitu:

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pemeliharaan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya (suami istri). Untuk persoalan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya (suami), sedangkan hak memelihara terletak di tangan istri ibarat halnya firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang materi bakarnya yaitu insan dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. at-Tahriim: 6).

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan berdasarkan kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan kalau kau ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kau memperlihatkan pembayaran berdasarkan yang patut. bertakwalah kau kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kau kerjakan. (QS. al-Baqarah: 233).

Ayat di atas menganjurkan kedua orang bau tanah untuk memperhatikan anak-anaknya. Suami dibebani kewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan anak, kadang suami melalaikannya.


Rasulullah juga memberikan terntang ajar anak dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍو يَعْنِي الْأَوْزَاعِيَّ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي)رواه ابو داود)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid As-Sulamiy, Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Abu ‘Amru – yaitu Al-Auza’iy, Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru: Bahwasannya ada seorang perempuan berkata: “Wahai Rasulullah, bantu-membantu anakku ini, perutku yaitu tempatnya, dan puting susuku yaitu daerah minumnya, dan pangkuanku yaitu rumahnya; sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” (HR. Abu Dawud). [1]

Hadits ini menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak, selama iabelum menikah kembali dengan pria lain. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu pernah menceraikan istrinya yang kemudian keduanya berselisih ihwal hak pengasuhannya anaknya.

Namun kalau anak tersebut telah menginjak usia tamyiiz, maka ia (si anak) berhak menentukan kepada siapa ia akan tinggal/ikut antara ayahnya atau ibunya.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ )رواه ابو داود)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-HulwaaniTelah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq dan Abu ‘Aashim dari Ibnu Juraij: Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad, dari Hilaal bin Usaamah: Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinahyang termasuk orang jujur, berkata: Ketika saya sedang duduk bersama Abu Hurairah, tiba kepadanya seorang perempuan Persia yang membawa anaknya-keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata memakai bahasa Persia: “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya memakai bahasa asing: “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya tiba dan berkata: “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku?”. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Ya Allah, saya tidak menyampaikan hal ini kecuali lantaran saya telah mendengar seorang perempuan tiba kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara saya duduk di sisinya, kemudian ia berkata: ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, bantu-membantu suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: Undilah anak tersebut!. Kemudian suaminya berkata: Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku?. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata: Ini yaitu ayahmu dan ini yaitu ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, kemudian perempuan tersebut pergi membawanya”. (HR. Abu Dawud). [2]

 Pendapat Ulama
Menurut sayyid sabiq, mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib. Sebab mengabaikannya ibarat menhadapkan belum dewasa yang masih kecil kepada nahaya kebinasaan.[4] Kewajiban ini dibebankan kepada kedua orang bau tanah anak, alasannya yaitu anak memerlukan pemeliharaan dan asuhan, dipenuhi kebutuhan dan diawali pendidikannya.[5] Meski dihukumi wajib, namun dalam al-Quran tidak ditemukan dalil yang secara eksplisit atas penetapan hukumnya. Para ulama hanya menyebabkan ayat-ayat yang mengandung pengertian umum sebagai dalilnya, ibarat al-Hamdani yang menyebabkan surat al-Baqarah ayat 233 sebagai dasar aturan dari pemeliharaan anak.[6]

d.  Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Selanjutnya,di Indonesia ketentuan mengenai hadhanah sanggup dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa:

  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun yaitu hak ibunya.
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk menentukan antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  3. Segala pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Hal tersebut di atas juga dijelaskan dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa apabila putusnya perkawinan lantaran perceraian, maka: 

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan belum dewasa pengadilan yang member keputusan.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diharapkan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak sanggup memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan sanggup menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan sanggup mewajibkan kepada bekas suami untuk memperlihatkan biaya pnghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Kemudian juga dipertegas dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi:

  1. Kedua orang bau tanah wajib memelihara dan mendidik belum dewasa mereka sebaik-baiknya.
  2. Kewajiban orang bau tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku hingga anak itu kawin atau sanggup bangkit sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara orang bau tanah putus.




[1] Imam Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, no. 2276, ( Dar al-Fikr, Beirut), h. 383.
[2] Ibid,.
[3] https://duniainformasisemasa326.blogspot.com//search?q=pengertian-hadhanah-hak-asuh-anak
[4]  Sayyid sabiq, Fiqh Sunnah…, h. 160.
[5] Said bin Abdullah bin Thalib Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Hukum Perkawinan Islam), Terj. Agus Salim. (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 318.
[6] Ibid., h. 321.
[7] Hasballah dan Zamakhsyari, Pendidikan dan Pengasuhan Anak, (Menurut Al-Qur’an dan Sunnah), (Medan:Perdana Mulya Sarana, 2012), h.57.

Posting Komentar untuk "Dasar Aturan Hak Bimbing Anak (Hadhanah)"