Biografi Ibnu Sina

Jejak Pendidikan- Nama lengkap Ibn Sina yaitu Abu ‘Ali Husin Ibn ‘Abdullah Ibn H}asan Ibn ‘Ali Ibn Sina. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para mahir sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin Aven Sina dan sebagian yang lain menyampaikan bahwa nama tersebut diambil dari kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.

Ibn Sina dilahirkan di desa Akhshanah, bersahabat Bukhara pada tahun 370 H/ 980M. para ulama berbeda pendapat perihal tahun kelahirannya. Al- Qibti dan Ibn Khalkan menyampaikan kelahiran Ibn Sina pada tahun 370/980.

baca Juga ( biografi semua tokoh)

Ibn Abi ‘Ushaibiah menyampaikan pada tahun 375/985. Sedangkan ada yang mengatakan kelahirannya pada tahun 373/983, dan berdasarkan Muhammad Uthman Nafati pada tahun 363/973. Adapun pendapat lain mengatakan bahwa Ibn Sina dilahirkan di Persia pada bulan Safar tahun 980 M, ayahnya tinggal di kota Balkh yaitu sebuah kota yang terletak antara Georgia dan Turkistan.

Ayahnya berjulukan ‘Abdullah, seorang sarjana terhormat penganut Shiah Isma’illiyah. Walaupun diri Ibn Sina menolak identitas itu. Ayahnya berasal dari Balkh Khurasan, suatu kota yang termasyhur di kalangan orangorang Yunani dengan nama Bakhtra. Ayahnya tinggal di kota Balkh, tetapi beberapa tahun sesudah lahirnya Ibn Sina, keluarganya pindah ke Bukhara karena ayahnya menjadi gubernur di suatu kawasan di salah satu pemukiman Daulat Samaniyah pada masa pemerintahan Amir Nuh ibn Manshur.

sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Sedangkan ibunya bernama Astarah, berasal dari Afshana yang termasuk wilayah Afghanistan. Ada yang menyebutkan ibunya sebagai orang yang berkebangsaan Persia, alasannya yaitu pada abad ke-10 M, wilayah Afghanistan ini termasuk kawasan Persia.

Keluarga Ibn Sina termasuk keluarga kaya dan terpandang. Latar belakang keluarganya yang demikian merupakan faktor yang sangat mendukung dalam pembentukan langsung ilmiahnya, di samping kecemerlangan otaknya. Di sisi lain keluarga Ibn Sina memang menaruh perhatian serius terhadap ilmu dan pendidikan, yang besar lengan berkuasa besar bagi karir intelektualnya kelak. Selain itu masa di mana Ibn Sina hidup merupakan masa kejayaan Abasiyah dalam hal ilmu dan pendidikan, meskipun sangat kontras dengan situasi politik yang tengah mengalami banyak konflik dan perpecahan. 

Saat itu pendidikan merupakan tuntutan, sehingga para cendikiawan begitu banyak, perpustakaan dipenuhi dengan kehadiran para sarjana muslim, dan karya-karya terjemahan terus dilakukan atas berbagai pengetahuan dari bangsa-bangsa lain sesuai dengan kehendak khalifah dan para wazir.

Ibn Sina populer sebagai anak yang mempunyai kepandaian sangat luar biasa (chil prodigy). Pendidikan Ibn Sina bersifat ensiklopedik mulai dari tata bahasa, geometri, fisika, kedokteran, hukum, dan teologi. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari yaitu membaca Al-Qur’an, sesudah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam ibarat tafsir, fiqih, Ushuluddin. Ia berguru bahasa Arab di bawah bimbingan Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad al-Barqi al-Khawarizmi. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.

Ibn Sina berguru dibawah pengawasan ayahnya dan salah seorang gurunya ialah Isma’il Az-Zahid yang mengajarkan ilmu akhlak, tasawuf dan fiqih. Setelah umur 10 tahun dan ilmu-ilmu agama telah dikuasai, maka ayahnya menyuruh berguru filsafat dengan segala cabang-cabangnya. Pertama belajar ilmu hitung ada seorang saudagar India (kawan ayahnya), lalu ia tidak puas dengan ilmu hitung saja, tapi ia ingin berguru segala macam ilmu.

Kebetulan sekali seorang sobat ayahnya berjulukan Abu ‘Abdullah Natili yang populer sebagai mutafalsit atau calon filosofi berkunjung ke Bukhara dan menginap dirumahnya sehingga kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh ayahnya biar puteranya berguru pada Natili, akan tetapi proses belajarnya tidak begitu lama, sang guru ingin pulang ke daerahnya.

Diusianya yang keenam belas tahun Ibn Sina mampu mempersembahkan karyanya sendiri yakni tentang; aturan Islam, filsafat, ilmu alam, mantiq (logika) dan matematika (geometri). Selain itu Ibn Sina juga menempati posisi istimewa dalam ilmu kedokteran, sehingga banyak dokter populer yang mulai berguru padanya. Dalam pandangan Ibn Sina, kedokteran bukanlah bidang ilmu yang rumit.

Sedangkan bidang ilmu yang berdasarkan Ibn Sina rumit yaitu Metafisika. Dia mengaku membaca metafisika karya Aristoteles sebanyak empat puluh kali, namun belum juga bisa memahami maksud penulisnya. Sampai akhirnya dia meneruskan risalah Al-Farabi yang berjudul On The Intentions of The Metaphysics, selepas membacanya, barulah ia memperoleh kejelasan mengenai apa itu metafisika.

Selain itu ia mendalami ilmu-ilmu alam dan mempelajari serta mendalami ilmu kedokteran, sehingga praktek sebagai seorang dokter. Pada usianya yang mencapai 17 tahun, kemasyhurannya telah menyebar luas sampai kepada para mahir kedokteran lainnya, sehingga mereka tertarik mempelajari pengalaman dan aneka macam macam teknik penyembuhan yang pernah dilakukan oleh Ibn Sina.

Dikisahkan bahwa ketika raja Nuh Ibn Manshur, penguasa Bukhara dan sekaligus guru Ibn Sina, memanggilnya untuk mengobati penyakit yang diderita sang guru disaat dokter-dokter lain tidak sanggup. Sambil mengobati gurunya ini, ia memohon izin supaya diperkenankan memasuki perpustakaan langsung Nuh Ibn Manshur untuk mempelajari lebih jauh ilmu kedokteran yang ditekuninya.

Upaya memperdalam dan menguasai aneka macam cabang ilmu pengetahuan dilanjutkan Ibn Sina dikala ia memperoleh kesempatan mempergunakan perpustakaan milik Nuh ibn Manshur yang pada dikala itu menjadi raja di Bukhara. Kesempatan tersebut terjadi alasannya yaitu jasa Ibn Sina yang berhasil mengobati penyakit raja tersebut hingga sembuh.

Selama Ibn Sina memeperoleh terusan ke dalam perpustakaan tersebut, Ibn Sina menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, sehingga ia berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satupun cabang ilmu pengetahuan yang ia tidak pelajari, alasannya yaitu ia membaca karya-karya kuno yang belum pernah ia jumpai. Ibn Sina mengatakan:

Semua buku yang saya inginkan ada di situ. Bahkan saya menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak pernah melihatnya lagi. Karena itu saya dengan ulet membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatknnya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menuntaskan semua bidang ilmu”.

Ketika berusia delapan belas tahun ia telah sanggup menguasai berbagai ilmu pengetahuan, ia memulai karirnya dengan mengikuti peran orang tuanya, yaitu membantu tugas-tugas amir Nuh ibn Manshur. Ia diminta menyusun kumpulan anutan filsafat oleh Abu al-Husin al-‘Arudi, yaitu menyusun buku al-Majmu’. Setelah itu ia menulis buku al-Hasil wa al- Masul dan al-Birr wa al-Ism atas seruan Abu Bakar al-Barqi al-Khawarizmi.

Setelah usianya memasuki dua puluh dua tahun, ayahnya meninggal dunia, dan lalu terjadi kemelut politik di badan pemerintahan Nuh bin Manshur. Kedua orang putera kerajaan, yaitu Manshur dan Abdul Malik saling berebut kekuasaan, yang dimenangkan oleh Abdul Malik. Selanjutnya dalam pemerintahan yang belum stabil itu terjadi serbuan yang dilakukan oleh kesultanan Mah}mud al-Ghaznawi, sehingga seluruh wilayah kerajaan Samani yang berpusat di Bukhara jatuh ke tangan Mah}mud al-Ghaznawi tersebut.

Dalam keadaan situasi politik yang begitu ricuh, Ibn Sina memutuskan untuk meninggalkan kawasan asalnya. Dia pergi ke Karkang yang termasuk ibukota al-Khawarizm, dan di kawasan tersebut Ibn Sina mendapat penghormatan dan perlakuan yang baik. Di kota ini pula Ibn Sina banyak berkenalan dengan sejumlah pakar para ilmuwan seperti, Abu al-Khir al-Khamar, Abu Sahl ‘Isa bin Yah}ya al-Masiti al-Jurjani, Abu Rayhan al-Biruni dan Abu Nash al-Iraqi. Setelah itu Ibnu Sina melanjutkan perjalanan ke Nasa, Abiwarud, Syaqan, Jajarin dan terus ke Jurjan. 

Setelah kota yang ia singgahi terakhir ini juga kurang aman, Ibn Sina memutuskan pindah ke Rayi dan bekerja pada As-Sayyidah dan puteranya Madjid al-Daulah yang pada waktu itu terjangkit penyakit, dan membantu menyembuhkannya. Selang beberapa waktu, Ibn Sina terjangkit penyakit Colic (maag kronis), dan alasannya yaitu keinginannya yang kuat untuk sembuh, sehingga dikisahkan bahwa pada dikala itu Ibn Sina pernah minta obat hingga delapan kali dalam sehari. Namun sekalipun kondisinya yang memburuk karena penyakit yang ia derita, ia masih saja tetap aktif menghadiri sidang-sidang majelis ilmu di Ishfaha.

Kemudian ketika al-Daulah bermaksud akan pergi ke Hamadan, Ibn Sina memaksakan ikut dalam rombongan tersebut. Di tengah perjalanan ia kembali diserang penyakit, dan dalam keadaan yang demikian itu ia berkata: 

Segala tenaga pengatur kekuatan tubuhku sudah lumpuh sama sekali, dan segala pengobatan sudah tidak mempunyai kegunaan lagi.

Karena hal tersebut ia pun lalu mandi dan bertobat kepada Allah, menyedekahkan segala kekayaannya kepada kaum fakir, memaafkan setiap orang yang pernah menyakitinya, membebaskan para budaknya, membaca al-Qur’an sehingga khatam 3 hari sekali, hingga ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ibn Sina pun wafat pada hari Jum’at bulan Ramadhan pada tahun 428 H, bertepatan dengan tahun 1037 M, pada usia 58 tahun dan dimakamkan di Hamadan, Iran.

Ibn Sina dikenal sebagai ulama yang sangat produktif dalam melahirkan karya tulis yang sangat fenomenal, meskipun ia sibuk dalam pemerintahan dan tugasnya sebagai dokter. Buku-bukunya hampir mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan, ibarat ilmu kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik, dan bahasa Arab.

Rujukan: 

Sa’id Isma’il ‘Ali, al-Falsafah al-Tarbiyah ‘Inda Ibn Sina (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1969),

Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Suatu Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)

Muhammad ‘Atof ‘Aroqi, Al-Falsafah At-Tobi’iyatu ‘Inda Ibn Sina (Mesir: Dar al-Ma'arif, 1991).

Imam Tholkha, Membuka Jendela Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), 30.

Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuwan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 248.

Muhammad Tolhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006)

De Lacy o’Leary, al-Fikr al-‘Arabi wa Makanuhu fi> al-Tarikh (Mesir: al-Muassasah al-‘Ammah, 1401 H).

Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001)

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam Dan Pemikiran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Aan Rukmana, Ibn Sina Sang Ensiklopedik, Pemantik Pijar Peradaban Islam (Jakarta: Dian Rakyat, 2013)

Berbagi :