Pengertian Pendidikan Akal
Jejak Pendidikan- Pendidikan dalam Undang-undang No.20 Tahun 2003, wacana Sistem Pendidikan Nasional, diartikan sebagai perjuangan sadar dan berkala untuk mewujudkan suasana berguru dan proses pembelajaran supaya secara aktif menyebarkan potensi dirinya untuk mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, moral mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syibani pendidikan yakni proses mengubah tingkah laris individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu acara asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.
Sedangkan akal, berasal dari bahasa Arab „aqala „aqlan (عقل عقلا) yang artinya nalar pikiran.Terdapat setidaknya dua makna mengenai akal, pertama, nalar organik, yakni organ yang bertanggungjawab bagi kegiatan-kegiatan intelektual dan spiritual manusia. Penyamaannya dengan Qalb dalam beberapa ayat Al-Qur‟an dan teori filosof Islam, terutama untuk fungsi mengerti dan memahami (fungsi kognitif), mendukung makna tersebut.Penggunaan kata “organ” bermakna bahwa nalar itu bertempat (lokus).Tempatnya ibarat disabdakan Rasulullah Saw., yakni dalam diri manusia.
Pengertian yang kedua nalar fungsional.Fungsi nalar yakni menelaah, mengerti, dan mengambil pelajaran atas semua fenomena yang ada.Ia juga berfungsi sebagai dorongan moral, melalui fungsi dorongan moral tersebut menjadikan nalar menjadi alat pembeda antara baik dan buruk. Dari pengertian ini kemudian dihubungkan bahwa nalar yakni daya yang terdapat dalam diri insan yang sanggup menahan atau mengikat pemiliknya dari perbuatan buruk atau jahat. Dalam kitab al-Tarbiyah al-aqliyah menyebutkan:
Mendidik nalar yakni mengaktualisasikan potensi dasarnya. Potensi yang sudah ada semenjak lahir, bermetamorfosis nalar yang baik bahkan sebaliknya sesuai pendidikan yang didapatnya.Akal yang telah teraktualkan melalui pendidikan sanggup didayagunakan untuk kepentingan kemanfaatan kemanusiaan baik berupa agama, pengetahuan, kebudayaan, peradaban dan lain sebagainya.
Benak atau nalar pikiran insan tidak terlepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu „ilm (tahu) dan jahl (ketidaktahuan). Pada ketika keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah lagi indah. Kondisi inilah yang dinamakan “ilmu”. Sebaliknya, sebelum keluar rumah dan menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada citra itu, pada kondisi ini disebut “jahl”. Tahu artinya menyimpan fotokopi atau gejala-gejala suatu subjek melalui sensasi (penginderaan) dan persepsi dalam memori sebagai pengetahuan siap jadi.Akal kemudian memanfaatkan pengetahuan siap ini untuk dipakai ketika diperlukan, semisal berpikir untuk menciptakan keputusan (decision making), memecahkan problem (problem solving), atau menghubung-hubungkan pengetahuan satu dengan yang lainnya menjadi sesuatu yang gres (creativity).
Keberadaan insan ditentukan oleh fungsionalisasi nalar pikirannya.Sebagaimana ucapan filosof Rene Decrates yang sangat terkenal „cogito ergo sum‟ (saya berpikir maka saya ada). Karenanya orang yang tidak bakir tidak mempunyai implikasi aturan apapun.
Akal („aql) merupakan jalinan budi dan hati. Dari budi nalar menerima pengetahuan, dari hati menerima penghayatan. Antara budi dan hati, antara pengetahuan dan penghayatan terjalin interaksi yang sanggup melahirkan ruh berupa: nafsu amarah, yang suka menyuruh kepada kejahatan. Nafsu lawwaamah, yang berjuang antara kebaikan dan kejahatan. Nafsu musauwilah, yang pandai meniup, sehingga kejahatan nampak sebagai kebaikan. Nafsu muthmainnah, yang damai dan tentram.12Oleh alasannya yakni itu, nalar harus dididik, dibekali ilmu pengetahuan, sehingga bisa terhindar dari melaksanakan perbuatan tercela ibarat menyontek, mencuri, mabuk-mabukan dan sebagainya.
Dengan demikian, orang yang terbina akalnya dan telah terkendali hawa nafsunya dengan pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang bermental tangguh, tawakal, tidak gampang terjerumus dan siap menghadapi ujian kehidupan. Indikasinya, orang tersebut akan mempunyai jiwa yang tenang, tidak lekas berputus asa lantaran dengan nalar dan pikirannya ia menemukan aneka macam belakang layar dan nasihat yang ada dibalik ujian dan kesulitan yang dihadapi. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang menciptakan dirinya lari dari Allah SWT, melainkan harus dihadapi dengan damai dan mengubahnya menjadi peluang rahmat dan kemenangan.
Selain membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang benar, nalar mestilah diterangi oleh agama. Inilah sebabnya mengapa Islam menghukumkan menuntut ilmu dan agama yakni keharusan (wajib) bagi setiap muslim. Ilmu mengatur dan menuntun insan dalam urusan dunia. Agama mengatur dan menuntun kepada kebaikan kehidupan ukhrawi. Keduanya harus seimbang, senada dengan sebuah hadits yang menyampaikan “tidak ada agama bagi orang yang tidak mempunyai akal”. Manusia yakni makhluk yang berakal, akan tetapi tidak semuanya bisa mempergunakan akalnya dengan baik.
Perimbangan antara ilmu dan agama, ibadah dan muamalah, agama dan kebudayaan, kepentingan dunia dan alam abadi mengantarkan pada salam (keselamatan). Tingkah laku, amal perbuatan mengantarkan pada salam, itulah yang bahwasanya “hidup” bagi Islam. Dalam kehidupan dunia, salam sanggup diusahakan oleh nalar dengan berpedoman pada naql. Dan di akhirat, salam merupakan pembalasan amal sholeh ketika hidup di dunia yang digerakkan oleh nalar dengan berpedoman pada agama atau naql.
Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syibani pendidikan yakni proses mengubah tingkah laris individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu acara asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.
Sedangkan akal, berasal dari bahasa Arab „aqala „aqlan (عقل عقلا) yang artinya nalar pikiran.Terdapat setidaknya dua makna mengenai akal, pertama, nalar organik, yakni organ yang bertanggungjawab bagi kegiatan-kegiatan intelektual dan spiritual manusia. Penyamaannya dengan Qalb dalam beberapa ayat Al-Qur‟an dan teori filosof Islam, terutama untuk fungsi mengerti dan memahami (fungsi kognitif), mendukung makna tersebut.Penggunaan kata “organ” bermakna bahwa nalar itu bertempat (lokus).Tempatnya ibarat disabdakan Rasulullah Saw., yakni dalam diri manusia.
Pengertian yang kedua nalar fungsional.Fungsi nalar yakni menelaah, mengerti, dan mengambil pelajaran atas semua fenomena yang ada.Ia juga berfungsi sebagai dorongan moral, melalui fungsi dorongan moral tersebut menjadikan nalar menjadi alat pembeda antara baik dan buruk. Dari pengertian ini kemudian dihubungkan bahwa nalar yakni daya yang terdapat dalam diri insan yang sanggup menahan atau mengikat pemiliknya dari perbuatan buruk atau jahat. Dalam kitab al-Tarbiyah al-aqliyah menyebutkan:
Akal yakni sesuatu yang dengannya terdapat aktifitas berfikir, mencari dalil-dalil, menyusun gambaran-gambaran dan fakta-fakta kebenaran.Akal bisa membedakan yang manis dari yang jelek, yang baik dari yang buruk dan yang benar dari yang salah.Akal dalam Islam yakni kekuatan (potensi) yang dipersiapkan untuk mendapatkan ilmu atau yang dengan potensi tersebut memberifaidah (berguna) bagi kehidupan manusia”.Pendidikan nalar (rasio) yakni membentuk rujukan pikir anak terhadap segala sesuatu yang bermanfaat, baik berupa ilmu syar‟i, kebudayaan, ilmu modern, kesadaran, pemikiran, dan peradaban.Sehingga nalar anak menjadi matang secara pemikiran dan terbentuk secara ilmu dan kebudayaan. Dalam konsep pendidikan, nalar dan intelektual perlu dikembangkan, mendidik nalar melalui kurikulum yang tersistem, supaya ia bisa menyebarkan potensi akalnya ke jenjang yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan menjadi insan cerdas, pandai dan kreatif.
Mendidik nalar yakni mengaktualisasikan potensi dasarnya. Potensi yang sudah ada semenjak lahir, bermetamorfosis nalar yang baik bahkan sebaliknya sesuai pendidikan yang didapatnya.Akal yang telah teraktualkan melalui pendidikan sanggup didayagunakan untuk kepentingan kemanfaatan kemanusiaan baik berupa agama, pengetahuan, kebudayaan, peradaban dan lain sebagainya.
Benak atau nalar pikiran insan tidak terlepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu „ilm (tahu) dan jahl (ketidaktahuan). Pada ketika keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah lagi indah. Kondisi inilah yang dinamakan “ilmu”. Sebaliknya, sebelum keluar rumah dan menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada citra itu, pada kondisi ini disebut “jahl”. Tahu artinya menyimpan fotokopi atau gejala-gejala suatu subjek melalui sensasi (penginderaan) dan persepsi dalam memori sebagai pengetahuan siap jadi.Akal kemudian memanfaatkan pengetahuan siap ini untuk dipakai ketika diperlukan, semisal berpikir untuk menciptakan keputusan (decision making), memecahkan problem (problem solving), atau menghubung-hubungkan pengetahuan satu dengan yang lainnya menjadi sesuatu yang gres (creativity).
Keberadaan insan ditentukan oleh fungsionalisasi nalar pikirannya.Sebagaimana ucapan filosof Rene Decrates yang sangat terkenal „cogito ergo sum‟ (saya berpikir maka saya ada). Karenanya orang yang tidak bakir tidak mempunyai implikasi aturan apapun.
Akal („aql) merupakan jalinan budi dan hati. Dari budi nalar menerima pengetahuan, dari hati menerima penghayatan. Antara budi dan hati, antara pengetahuan dan penghayatan terjalin interaksi yang sanggup melahirkan ruh berupa: nafsu amarah, yang suka menyuruh kepada kejahatan. Nafsu lawwaamah, yang berjuang antara kebaikan dan kejahatan. Nafsu musauwilah, yang pandai meniup, sehingga kejahatan nampak sebagai kebaikan. Nafsu muthmainnah, yang damai dan tentram.12Oleh alasannya yakni itu, nalar harus dididik, dibekali ilmu pengetahuan, sehingga bisa terhindar dari melaksanakan perbuatan tercela ibarat menyontek, mencuri, mabuk-mabukan dan sebagainya.
Dengan demikian, orang yang terbina akalnya dan telah terkendali hawa nafsunya dengan pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang bermental tangguh, tawakal, tidak gampang terjerumus dan siap menghadapi ujian kehidupan. Indikasinya, orang tersebut akan mempunyai jiwa yang tenang, tidak lekas berputus asa lantaran dengan nalar dan pikirannya ia menemukan aneka macam belakang layar dan nasihat yang ada dibalik ujian dan kesulitan yang dihadapi. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang menciptakan dirinya lari dari Allah SWT, melainkan harus dihadapi dengan damai dan mengubahnya menjadi peluang rahmat dan kemenangan.
Selain membekalinya dengan ilmu pengetahuan yang benar, nalar mestilah diterangi oleh agama. Inilah sebabnya mengapa Islam menghukumkan menuntut ilmu dan agama yakni keharusan (wajib) bagi setiap muslim. Ilmu mengatur dan menuntun insan dalam urusan dunia. Agama mengatur dan menuntun kepada kebaikan kehidupan ukhrawi. Keduanya harus seimbang, senada dengan sebuah hadits yang menyampaikan “tidak ada agama bagi orang yang tidak mempunyai akal”. Manusia yakni makhluk yang berakal, akan tetapi tidak semuanya bisa mempergunakan akalnya dengan baik.
Perimbangan antara ilmu dan agama, ibadah dan muamalah, agama dan kebudayaan, kepentingan dunia dan alam abadi mengantarkan pada salam (keselamatan). Tingkah laku, amal perbuatan mengantarkan pada salam, itulah yang bahwasanya “hidup” bagi Islam. Dalam kehidupan dunia, salam sanggup diusahakan oleh nalar dengan berpedoman pada naql. Dan di akhirat, salam merupakan pembalasan amal sholeh ketika hidup di dunia yang digerakkan oleh nalar dengan berpedoman pada agama atau naql.
Sumber:
- Kementrian Agama RI, Spiritualitas Dan Akhlak (Tafsir Al-Qur‟an Tematik), (Jakarta: Aku Bisa, 2012).
- Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
- Ali Abdul Halim Mahmud, Al-Tarbiyah Al-Aqliyah, (Qahirah: TP, 1996).
- Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Juz I, (Kairo: Daar As-salam, 2010).
- Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam, terj. Pendidikan Anak Dalam Islam. Arif Rahman, dkk, (Solo: Insan Kamil, 2012).
- Kementrian Agama RI, Pendidikan, Pembangunan Karakter, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Aku Bisa, 2012).
- Abu Alya Ahmad Al-Syaddad, Al-Raunaq: Penjabaran Singkat Nadlam al-Sullam al-munawraq, (Pati: TP, 2004).
- Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2013).
- Adib Bisri dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999).
- Taufik Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008).
Posting Komentar untuk "Pengertian Pendidikan Akal"