Buku Pemikiran Penialainan Kelas Oleh Pendidik
Penilaian (assessment) ialah kepingan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, UNESCO menyatakan assessment as a lever to reform education. Istilah penilaian (assessment) sering dipertukarkan secara rancu dengan dua istilah lain, yakni pengukuran (measurement) dan penilaian (evaluation). Pada hal ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang tidak sama, walaupun memang saling berkaitan. Pengukuran, penilaian, dan penilaian ialah suatu hirarki. Pengukuran yakni acara membandingkan sesuatu dengan sesuatu sejenis yang dipakai sebagai kriteria; penilaian yakni proses menafsirkan dan mendeskripsikan bukti-bukti hasil pengukuran, sedangkan penilaian yakni acara tetapkan atau tetapkan sesuatu menurut hasil-hasil penilaian.
Di kurun XXI yang mengalami perkembangan luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan transformasi nilai-nilai budaya, menimbulkan penilaian juga mengalami pergeseran paradigma. Penilaian yang dirancang guru tidak bisa spesialuntuk terserius pada penilaian kognitif. Penilaian aneka macam keterampilan mencar ilmu dan berpikir, literasi, serta kemampuan memecahkan duduk kasus kehidupan kasatmata dalam rangka membentuk kecakapan hidup justru harus mendapat porsi yang lebih banyak. Guru tidak cukup spesialuntuk menilai “apa yang diketahui siswa” tetapi juga harus menekankan pada “apa yang sanggup dilakukan oleh siswa”. Karena itu penilaian harus bersifat otentik, bukan artifisial; juga harus mencapai level berpikir tingkat tinggi, yang menuntut berpikir logis, analitis, kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan maslah (problem solving) pada konteks kehidupan nyata.
Beberapa pakar pendidikan mensinyalir bahwa proses pembelajaran dan penilaian di sekolah-sekolah kita belum bersifat otentik, alasannya belum memakai konteks kehidupan sehari-hari. Sejumlah pakar pendidikan menyatakan bahwa pembelajaran kita lebih banyak memaparkan fakta, pengetahuan, dan hukum, kemudian biasa dihafalkan, bukan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam kehidupan nyata. Proses pembelajaran ibarat di atas menjadi semakin tidak bermakna alasannya ternyata instrumen penilaian yang dipakai guru bersifat artifisial, tidak bersifat otentik yang memakai konteks kehidupan sehari-hari (daily life).
Sinyalir para pakar pendidikan di atas sejalan dengan hasil studi internasional TIMSS dan PISA yang menawarkan bahwa animo kemampuan rata-rata siswa Indonesia selalu di bawah rata-rata internasional, umumnya siswa Indonesia spesialuntuk bisa mengingat fakta sederhana, terminologi, dan hukum-hukum tetapi belum bisa mengimplementasikannya untuk menunjukan fenomena di sekitarnya, apalagi memecahkan permasalahan kehidupan nyata.
Agar otentik, penilaian harus dirancang tidak spesialuntuk dilakukan di final proses pembelajaran atau spesialuntuk menilai hasil mencar ilmu (assessment of learning). Penilaian otentik juga harus dirancang menyatu dengan pembelajaran sehingga penilaian juga ialah proses mencar ilmu (assessment for learning), apalagi jikalau proses penilaian tersebut dengan melibatkan siswa, maka siswa akan mencar ilmu menjadi penilai dirinya sendiri (assessment as learning). Pada hakikatnya, penilai terbaik bagi seorang siswa dalam proses mencar ilmu yakni dirinya sendiri. Bila penilaian dilakukan dengan tiga pendekatan di atas (assessment of, for, dan as learning) maka penilaian tidak spesialuntuk terserius pada hasil yang cenderung berdimensi kognitif, tetapi niscaya juga menilai proses yang berdimensi keterampilan dan sikap.
Tentu saja untuk menilai banyak dimensi diharapkan aneka macam metode dan instrumen penilaian yang sesuai. Tidak ada satu metode penilaian yang bisa menyajikan tiruananya. Setiap dimensi memerlukan metode dan instrumen penilaian sesuai karakteristiknya masing-masing. Karena itulah guru, sekolah, dan pemerintah harus merancang sistem penilaian, meliputi beberapa aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan sesuai prinsip dan aturan yang benar. Apalagi dikala diberlakukan kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013 ibarat kini ini, hadirnya Standar Penilaian sebagai pola utama dalam merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil penilaian menjadi sangat diperlukan.
Dalam implementasinya, Kurikulum 2013 bahwasanya sudah dilengkapi dengan Standar Penilaian Pendidikan sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 66 tahun 2013, Permendikbud Nomor 104 tahun 2013 wacana penilaian hasil mencar ilmu oleh pendidik, dan ditunjang lagi dengan Permendikbud Nomor 57 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SD/MI), Nomor 58 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SMP/MTs), dan Nomor 59 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SMA/MA), dan Nomor 60 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SMK/MAK).
Peraturan-peraturan ini masih terus dikembangkan alasannya masih terdapat sejumlah inkonsistensi, kekurangjelasan, atau kekuranglengkapan pada aturan-aturan di atas, contohnya wacana konsep dan pelaksanaan penilaian otentik, perumusan kriteria mastery learning, metode dan instrumen penilaian terutama untuk penilaian sikap, serta cara penskoran dan pelaporan. Munculnya permasalahan wacana penilaian dalam menerapkan kurikulum 2013 menimbulkan permendikbud 104 wacana penilaian dikaji kembali, sehingga direvisi menjadi permendikbud 53 wacana standar penilaian hasil mencar ilmu oleh pendidik dan satuan pendidikan.
Inkonsistensi, kekurangjelasan, atau kekuranglengkapan peraturan yang memayungi proses penilaian pendidikan berpotensi menjadikan kekurangpahaman guru dan pemangku kepentingan terhadap konsep penilaian dan kekurangterampilan mereka mengimplementasikan proses penilaian. Hal ini sanggup dilihat dari beberapa data empiris yang menawarkan kemampuan guru dalam merancang instrumen penilaian sesuai indikator dan kompetensi dasar masih rendah dan instrumen penilaian yang dibentuk guru masih mayoritas mengukur penguasaan pengetahuan, belum menyentuh bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata. Fakta sejenis dalam skala lebih besar ditunjukkan oleh hasil analisis Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (2014) yang menawarkan guru-guru Sekolah Menengah Pertama di 76 kabupaten/kota dari 29 provinsi di Indonesia yang menguasai konsep penilaian sesuai Kurikulum 2013 gres berkisar 30%-42%, sedangkan yang bisa menerapkan penilaian sesuai Kurikulum 2013 lebih kecil lagi, spesialuntuk 25%-37%.
Berdasarkan deskripsi di atas, puspendik merasa perlu menyebarkan pedoman penilaian untuk Pendidikan Dasar dan Menengah yang lebih rinci dan lengkap yang dilengkapi dengan contoh-contoh yang praktis diubahsuaikan dan diimplementasikan, sehingga sanggup mempersembahkan kegampangan bagi guru, memandu, dan menjamin terlaksananya proses penilaian yang benar dan berkarakter. Buku pedoman ini meliputi panduan untuk pendidik dalam melaksanakan penilaian kelas yang meliputi beberapa aspek aspek afektif, kognitif, dan psikomotor, dan tidak secara khusus mengacu pada kurikulum tertentu, tetapi bersifat sangat umum. Tetapi contoh-contohnya mengacu pada kurikulum 2013 yang dipakai oleh pendidik di beberapa sekolah.
Tujuan Penyusunan Pedoman Penilaian
Tujuan penyusunan Pedoman Penilaian Hasil Belajar oleh pendidik adalah:
Ruang Lingkup Pedoman Penilaian
sepertiyang diuraikan dalam PP Nomer 19 Tahun 2005 jo PP Nomer 32 Tahun 2013 wacana Standar Nasional Pendidikan, bahwa penilaian pada Pendidikan Dasar dan Menengah dilakukan oleh: a) pendidik/guru, b) satuan pendidikan (sekolah/madrasah), dan c) pemerintah. Pedoman penilaian ini spesialuntuk menguraikan penilaian yang dilakukan oleh pendidik/guru yang dikenal dengan penilaian kelas (classroom- based assessment). Pedoman penilaian oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah akan diuraikan pada pedoman tersendiri.
Penilaian kelas oleh pendidik meliputi beberapa aspek penilaian perilaku (attitude), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (performance). Di dalam kurikulum 2013 ketiga ranah tersebut tersirat dalam capaian Kompetensi Inti 1 (KI-1): Sikap Spiritual, Kompetensi Inti 2 (KI-2): Sikap Sosial, Kompetensi Inti 3 (KI-3): Pengetahuan, dan Kompetensi Inti 4 (KI-4): Keterampilan. Untuk setiap jenjang pendidikan dikembangkan contoh-contoh instrumen penilaian yang sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang diterapkan, contohnya untuk SD/MI instrumen penilaian memperhatikan pembelajaran tematik, sedangkan untuk SMP/MTs memperhatikan pembelajaran terpadu, dan pada jenjang SMA/MA memperhatikan karakteristik masing- masing pembelajaran.
Selengkapnya terkena Buku Pedoman Penilaian Oleh Pendidik ini silahkan rekan-rekan guru unduh pada link di bawah ini:
Download File:
Demikian warta mengani Pedoman Penialainan Kelas Oleh Pendidik yang sanggup kami sampaikan. Semoga bermanfaa
Di kurun XXI yang mengalami perkembangan luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan transformasi nilai-nilai budaya, menimbulkan penilaian juga mengalami pergeseran paradigma. Penilaian yang dirancang guru tidak bisa spesialuntuk terserius pada penilaian kognitif. Penilaian aneka macam keterampilan mencar ilmu dan berpikir, literasi, serta kemampuan memecahkan duduk kasus kehidupan kasatmata dalam rangka membentuk kecakapan hidup justru harus mendapat porsi yang lebih banyak. Guru tidak cukup spesialuntuk menilai “apa yang diketahui siswa” tetapi juga harus menekankan pada “apa yang sanggup dilakukan oleh siswa”. Karena itu penilaian harus bersifat otentik, bukan artifisial; juga harus mencapai level berpikir tingkat tinggi, yang menuntut berpikir logis, analitis, kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan maslah (problem solving) pada konteks kehidupan nyata.
Beberapa pakar pendidikan mensinyalir bahwa proses pembelajaran dan penilaian di sekolah-sekolah kita belum bersifat otentik, alasannya belum memakai konteks kehidupan sehari-hari. Sejumlah pakar pendidikan menyatakan bahwa pembelajaran kita lebih banyak memaparkan fakta, pengetahuan, dan hukum, kemudian biasa dihafalkan, bukan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam kehidupan nyata. Proses pembelajaran ibarat di atas menjadi semakin tidak bermakna alasannya ternyata instrumen penilaian yang dipakai guru bersifat artifisial, tidak bersifat otentik yang memakai konteks kehidupan sehari-hari (daily life).
Sinyalir para pakar pendidikan di atas sejalan dengan hasil studi internasional TIMSS dan PISA yang menawarkan bahwa animo kemampuan rata-rata siswa Indonesia selalu di bawah rata-rata internasional, umumnya siswa Indonesia spesialuntuk bisa mengingat fakta sederhana, terminologi, dan hukum-hukum tetapi belum bisa mengimplementasikannya untuk menunjukan fenomena di sekitarnya, apalagi memecahkan permasalahan kehidupan nyata.
Agar otentik, penilaian harus dirancang tidak spesialuntuk dilakukan di final proses pembelajaran atau spesialuntuk menilai hasil mencar ilmu (assessment of learning). Penilaian otentik juga harus dirancang menyatu dengan pembelajaran sehingga penilaian juga ialah proses mencar ilmu (assessment for learning), apalagi jikalau proses penilaian tersebut dengan melibatkan siswa, maka siswa akan mencar ilmu menjadi penilai dirinya sendiri (assessment as learning). Pada hakikatnya, penilai terbaik bagi seorang siswa dalam proses mencar ilmu yakni dirinya sendiri. Bila penilaian dilakukan dengan tiga pendekatan di atas (assessment of, for, dan as learning) maka penilaian tidak spesialuntuk terserius pada hasil yang cenderung berdimensi kognitif, tetapi niscaya juga menilai proses yang berdimensi keterampilan dan sikap.
Tentu saja untuk menilai banyak dimensi diharapkan aneka macam metode dan instrumen penilaian yang sesuai. Tidak ada satu metode penilaian yang bisa menyajikan tiruananya. Setiap dimensi memerlukan metode dan instrumen penilaian sesuai karakteristiknya masing-masing. Karena itulah guru, sekolah, dan pemerintah harus merancang sistem penilaian, meliputi beberapa aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan sesuai prinsip dan aturan yang benar. Apalagi dikala diberlakukan kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013 ibarat kini ini, hadirnya Standar Penilaian sebagai pola utama dalam merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil penilaian menjadi sangat diperlukan.
Dalam implementasinya, Kurikulum 2013 bahwasanya sudah dilengkapi dengan Standar Penilaian Pendidikan sebagaimana dituangkan dalam Permendikbud Nomor 66 tahun 2013, Permendikbud Nomor 104 tahun 2013 wacana penilaian hasil mencar ilmu oleh pendidik, dan ditunjang lagi dengan Permendikbud Nomor 57 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SD/MI), Nomor 58 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SMP/MTs), dan Nomor 59 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SMA/MA), dan Nomor 60 tahun 2014 (perihal Kurikulum 2013 pada jenjang SMK/MAK).
Peraturan-peraturan ini masih terus dikembangkan alasannya masih terdapat sejumlah inkonsistensi, kekurangjelasan, atau kekuranglengkapan pada aturan-aturan di atas, contohnya wacana konsep dan pelaksanaan penilaian otentik, perumusan kriteria mastery learning, metode dan instrumen penilaian terutama untuk penilaian sikap, serta cara penskoran dan pelaporan. Munculnya permasalahan wacana penilaian dalam menerapkan kurikulum 2013 menimbulkan permendikbud 104 wacana penilaian dikaji kembali, sehingga direvisi menjadi permendikbud 53 wacana standar penilaian hasil mencar ilmu oleh pendidik dan satuan pendidikan.
Inkonsistensi, kekurangjelasan, atau kekuranglengkapan peraturan yang memayungi proses penilaian pendidikan berpotensi menjadikan kekurangpahaman guru dan pemangku kepentingan terhadap konsep penilaian dan kekurangterampilan mereka mengimplementasikan proses penilaian. Hal ini sanggup dilihat dari beberapa data empiris yang menawarkan kemampuan guru dalam merancang instrumen penilaian sesuai indikator dan kompetensi dasar masih rendah dan instrumen penilaian yang dibentuk guru masih mayoritas mengukur penguasaan pengetahuan, belum menyentuh bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan dalam kehidupan nyata. Fakta sejenis dalam skala lebih besar ditunjukkan oleh hasil analisis Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (2014) yang menawarkan guru-guru Sekolah Menengah Pertama di 76 kabupaten/kota dari 29 provinsi di Indonesia yang menguasai konsep penilaian sesuai Kurikulum 2013 gres berkisar 30%-42%, sedangkan yang bisa menerapkan penilaian sesuai Kurikulum 2013 lebih kecil lagi, spesialuntuk 25%-37%.
Berdasarkan deskripsi di atas, puspendik merasa perlu menyebarkan pedoman penilaian untuk Pendidikan Dasar dan Menengah yang lebih rinci dan lengkap yang dilengkapi dengan contoh-contoh yang praktis diubahsuaikan dan diimplementasikan, sehingga sanggup mempersembahkan kegampangan bagi guru, memandu, dan menjamin terlaksananya proses penilaian yang benar dan berkarakter. Buku pedoman ini meliputi panduan untuk pendidik dalam melaksanakan penilaian kelas yang meliputi beberapa aspek aspek afektif, kognitif, dan psikomotor, dan tidak secara khusus mengacu pada kurikulum tertentu, tetapi bersifat sangat umum. Tetapi contoh-contohnya mengacu pada kurikulum 2013 yang dipakai oleh pendidik di beberapa sekolah.
Tujuan Penyusunan Pedoman Penilaian
Tujuan penyusunan Pedoman Penilaian Hasil Belajar oleh pendidik adalah:
- mempersembahkan arah dan kesatuan persepsi terhadap konsep penilaian pada Pendidikan Dasar dan Menengah;
- mempersembahkan panduan tahap-tahap pengembangan instrumen beserta contohnya untuk penilaian pada Pendidikan Dasar dan Menengah, meliputi beberapa aspek penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan;
- mempersembahkan panduan dalam menyebarkan instrumen penilaian beserta contoh formatnya, sehingga diperoleh instrumen yang standar dan berkarakter;
- mempersembahkan panduan analisis hasil penilaian beserta contohnya, untuk penilaian pada Pendidikan Dasar dan Menengah; dan
- mempersembahkan panduan prosedur pelaporan capaian kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan sehingga bisa mempersembahkan warta yang akurat dan akuntabel.
Ruang Lingkup Pedoman Penilaian
sepertiyang diuraikan dalam PP Nomer 19 Tahun 2005 jo PP Nomer 32 Tahun 2013 wacana Standar Nasional Pendidikan, bahwa penilaian pada Pendidikan Dasar dan Menengah dilakukan oleh: a) pendidik/guru, b) satuan pendidikan (sekolah/madrasah), dan c) pemerintah. Pedoman penilaian ini spesialuntuk menguraikan penilaian yang dilakukan oleh pendidik/guru yang dikenal dengan penilaian kelas (classroom- based assessment). Pedoman penilaian oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah akan diuraikan pada pedoman tersendiri.
Penilaian kelas oleh pendidik meliputi beberapa aspek penilaian perilaku (attitude), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (performance). Di dalam kurikulum 2013 ketiga ranah tersebut tersirat dalam capaian Kompetensi Inti 1 (KI-1): Sikap Spiritual, Kompetensi Inti 2 (KI-2): Sikap Sosial, Kompetensi Inti 3 (KI-3): Pengetahuan, dan Kompetensi Inti 4 (KI-4): Keterampilan. Untuk setiap jenjang pendidikan dikembangkan contoh-contoh instrumen penilaian yang sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang diterapkan, contohnya untuk SD/MI instrumen penilaian memperhatikan pembelajaran tematik, sedangkan untuk SMP/MTs memperhatikan pembelajaran terpadu, dan pada jenjang SMA/MA memperhatikan karakteristik masing- masing pembelajaran.
Download Pedoman Penilaian Oleh Pendidik
Selengkapnya terkena Buku Pedoman Penilaian Oleh Pendidik ini silahkan rekan-rekan guru unduh pada link di bawah ini:
Download File:
Posting Komentar untuk "Buku Pemikiran Penialainan Kelas Oleh Pendidik"