Poligami
-POLIGAMI
SUATU dikala seorang Syeikh, di salah satu negara yang pemerintahnya melarang poligami, menikah untuk kedua kalinya. Kabar pernikahannya pun terendus oleh intelijen negara itu. Di malam hari dikala Sang Syeikh itu menginap di rumah isteri keduanya, ia digrebek oleh sekelompok orang anggota intelijen. Ia pun diintrogasi dengan kasar.
“Mengapa Anda menikah lagi?” Dengan hening Syeikh itu membela diri. “Dari mana Anda tahu kalau wanita ini ialah isteri saya. Perempuan ini ialah simpanan saya.”
Akhirnya para kepetangan itu mohon maaf atas tindakan lancang mereka. Dunia seakan terbalik. Orang yang menikah baik-baik hendak ditangkap, tetapi dikala alasan berduaan dengan pasangan kumpul kebo, justru dihormati. Dengan kata lain, orang berzina di luar nikah di lindungi dan dihormati, sementara yang menikah baik-baik dianggap melanggar Undang-undang
Di negara kita, pembicaraan ihwal poligami selalu hangat di dengar, terutama sehabis dai kondang KH Abdullah Gymnastiar menikah dengan istri keduanya. Mereka yang menolak aturan poligami pun berusaha mencari justifikasi dari al-Quran dan Hadits yang mendukung perilaku anti mereka. Biasanya mereka berdalil dengan ayat 3 surat An-Nisa’, bahwa seorang pria boleh berpoligami bila bisa beruat adil.
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاء وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Dan kau sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, alasannya itu janganlah kau terlalu cenderung (kepada yang kau cintai), sehingga kau biarkan yang lain terkatung-katung. Dan bila kau mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tetapi ayat 129 surat yang sama menjelaskan siapapun tak akan bisa berlaku adil di antara istri-istrinya. Ini artinya, poligami sebetulnya tidak dibolehkan, alasannya kebolehan itu tergantung pada syarat “adil” yang tidak mungkin direalisasikan.
Jika kita mengkaji klarifikasi para ulama seputar kedua ayat di atas, tidak ada pertentangan samasekali antara keduanya. Karena adil yang dimaksudkan pada ayat 3, bukan adil yang dimaksud oleh ayat 129. Memang, penggalan pertama ayat 129 berbunyi: “Dan sekali-kali kau tidak akan bisa berbuat adil di antara para isteri kau walaupun kau sangat menginginkan hal itu…” Tetapi dikala kita lanjut membaca, maka ada penggalan berikutnya yang berbunyi, ”…Maka janganlah kau terlalu condong (terhadap istri yang lebih kau cintai) sehingga kau biarkan yang lain terkatung-katung….”
Jelas bahwa mafhûm mukhâlafah (makna sebaliknya) dari penggalan kedua di atas ialah: “Berbuat adillah engkau di antara mereka semoga mereka tidak terkatung-katung”, alasannya lawan dari “Jangan terlalu condong (jangan berat sebelah)” ialah “Berlaku luruslah (berlaku adillah)”.
Jika demikian, terperinci bahwa makna “adil” pada penggalan pertama, bukan makna “adil” pada penggalan kedua. Sebab bila diartikan sama, tentu akan menjadikan makna kontradiktif, alasannya ayatnya akan berbunyi: “Dan kau sekali-kali tidak akan bisa berkalu adil terhadap isteri-isterimu, walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, maka berlaku adillah…!”
Sudah dijelaskan bahwa tidak ada orang yang bisa berlaku adil, lantas mengapa diperintah berbuat adil? Itu namanya membebani insan dengan sesuatu yang tak bisa ia lakukan, padahal Allah Subhanahu Wata’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 284; “Allah tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak bisa ia laksanakan”.
Jadi adil dalam frase pertama berarti adil dalam urusan hati (seperti rasa cinta yang lebih kepada isteri yang lain). Adil dalam hal inilah yang tak bisa dilakukan oleh manusia, sehingga mereka tak diperintahkan untuk berlaku adil dalam hal ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam sendiri bersabda: “Ya Allah inilah pembagianku dalam apa yang saya punyai (mampu melakukannya, yaitu urusan nafkah dan menginap) dan janganlah mencelaku pada apa yang Engkau punya dan tidak saya punya (urusan hati).” [HR. Abu Dawud]
Jadi arti “Janganlah berlaku condong (berbuat adillah)..” pada penggalan ayat kedua berarti adil dalam muamalah (seperti santunan nafkah, giliran menginap, penyediaan fasilitas, pendidikan anak dsb). Adil dalam hal inilah yang bisa dilakukan oleh manusia.
Dengan demikian pemahaman ayat tersebut tidak akan kontradiktif. Karena tafsirannya akan berbunyi: “Engkau sekali-kali tidak akan sanggup berlaku adil dalam hal hati, alasannya hati ialah urusan Allah. Dia bisa saja menjadikanmu lebih menyayangi salah satu di antara istri-istrimu. Tetapi janganlah kecendrungan hati ini menciptakan engkau tidak berlaku adil dalam bermuamalah kepada mereka. Janganlah kecintaanmu yang lebih kepada salah satu di antara merkea membuatmu tidak memperhatikan yang lain sehingga mereka terkatung-katung.” Dengan demikian tidak akan terjadi makna yang kontradiktif.
Posting Komentar untuk "Poligami"