Landasan Toleransi Beragama Dalam Islam
Jejak pendidikan- Pada dasarnya setiap agama membawa kedamaian dan keselarasan hidup. Namun kenyataannya agama-agama yang tadinya berfungsi sebagai pemersatu tak jarang menjadi suatu unsur konflik. Hal tersebut disebabkan adanya truth claim atau klaim kebenaran pada setiap penganutnya. Padahal kalau dipahami lebih mendalam kemajemukan diciptakan untuk membuat mereka saling mengenal, memahami, dan berhubungan satu sama lain.
Ajaran Islam menganjurkan untuk selalu berhubungan dengan orang lain dan saling tolong menolong dengan sesama manusia. Hal ini menggambarkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menjaga kerukunan umat beragama baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Bentuk universalisme Islam digambarkan pada ketidakadaanya paksaan bagi insan dalam memeluk agama Islam. Hal ini mengatakan bahwa Islam yakni agama yang menghormati agama lain.
Pluralitas merupakan aturan tuhan dan sunnah ilahiyah yang infinit di semua bidang kehidupan, sehingga pluralitas itu sendiri telah menjadi karakteristik utama makhluk Allah pada level syari’at, way of life, dan peradaban, semua bersifat plural.
Pluralitas merupakan realitas yang mewujud dan mustahil dipungkiri, yaitu suatu hakikat perbedaan dan keragaman yang timbul semata lantaran memang adanya kekhususan dan karakteristik yang diciptakan Allah swt dalam setiap ciptaan-Nya. Pluralitas yang menyangkut agama yaitu toleransi beragama berarti pengukuhan akan eksistensi agama-agama yang berbeda dan beragama dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya dan mendapatkan kelainan yang lain beserta haknya untuk berbeda dalam beragama dan berkeyakinan Konsep dan pemahaman toleransi beragama menyerupai ini didukung oleh dalil naql (teks wahyu), nalar dan kenyataan. Allah berfirman dalam surat AlBaqarah ayat 256.
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah terang jalan yang benar daripada jalan yang sesat. lantaran itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dalam surah Al-baqarah ayat 256 patut menjadi perhatian bersama supaya dalam dakwah sanggup mempertimbangkan aspek toleransi dan kasih sayang yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah. Tidak diperkenankan adanya pemaksaan, lantaran Memaksakan kehendak bukanlah hak manusia.
Sesungguhnya antara kebaikan dan kezaliman sudah jelas.
Kalimat larangan ini diungkapkan dalam bentuk negatif secara mutlak.
Laa ikraaha fid din’ tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam
Menurut jago nahwu ungkapan ini menegasikan semua bentuk pemaksaan, meniadakan pemaksaan secara mendasar.
Dalam ayat diatas tidak ada paksaan dalam menganut agama. Mengapa ada paksaan, padahal agama tidak butuh sesuatu, mengapa ada paksaan padahal sekiranya Allah menghendaki, pasti kau dijadikan-Nya satu umat saja. (QS. Al-maidah: 48). Yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama yakni menganut akidahnya. Ini berarti kalau seseorang telah menganut satu dogma maka ia terkait dengan tuntunan-tuntunanya. Dia berkewajiban melaksanakan perintah-perntahnya.
Menurut Prof. Al-Qaradhawi dalam Anis Malik Thoha menyebutkan empat faktor utama yang mengakibatkan toleransi yang unik selalu mendominasi sikap orang Islam terhadap non-Muslim.
1) Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya, dan kesukuannya. Kemuliaan mengimplikasikan hak untuk dihormati.
Diriwatkankan dari Jabir bin Abdullah r.a: Jenazah (yang diusung ke pemakaman) lewat dihadapan kami. Nabi Muhammad Saw bangkit dan kami pun berdiri. Kami berkata, “Ya Rasulullah ini mayat orang Yahudi” Ia berkata,” Kapanpun kalian melihat mayat (yang diusung ke pemakaman), berdirilah.”
Dari Hadits tersebut terang bahwa Nabi Muhammad tidak pernah membeda-bedakan, sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Kaprikornus sudah jelas, bahwa sisi aqidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu‟amalah dari sisi kemanusiaan kita.
2) Keyakinan bahwa perbedaan insan dalam agama dan keyakinan merupakan realitas yang dikehendaki Allah swt yang telah memberi mereka kebebasan untuk menentukan iman atau kufur. Kehendak Allah pasti terjadi, dan tentu menyimpan pesan yang tersirat yang luar biasa. Oleh karenanya, tidak dibenarkan memaksa untuk Islam. Allah berfirman dalam sebuah ayat di surat Yunus ayat 99:
Hadits Nabi SAW :
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kau (hendak) memaksa insan supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”.
Ayat diatas telah mengisyaratkan bahwa insan diberi kebebasan percaya atau tidak. Seperti dicontohkan, kaum Yunus yang tadinya enggan beriman, dengan kasih sayang Allah swt. memperingatkan dan mengancam mereka. Hingga kemudian kaum Yunus yang tadinya membangkang atas kehendak mereka sendiri, sekarang atas kehendak mereka sendiri pula mereka sadar dan beriman.
3) Seorang muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir, atau menghukum kesesatan orang sesat. Allah-lah yang akan mengadili mereka di hari perhitungan nanti. Dengan demikian hati seorang muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka, dan dalam waktu yang sama, harus berpegang teguh pada kebenaran keyakinan sendiri. Allah swt. berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 29
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan kalau mereka meminta minum, pasti mereka akan diberi minum dengan air menyerupai besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan daerah istirahat yang paling jelek.”
Ayat ini diturunkan untuk memerintahkan Rasul saw. Menegaskan kepada semua kaum termasuk kaum musyrikin bahwa : “dan katakanlah wahai Nabi Muhammad bahwa: “kebenaran, yakni wahyu Ilahi yang saya sampaikan ini datangnya dari Tuhan pemelihara kau dalam segala hal; maka barang siapa diantara kamu, atau selain kau yang ingin beriman perihal apa yang kusampaikan ini maka hendaklah ia beriman, laba dan keuntungannya akan kembali pada dirinya sendiri, dan barang siapa diantara kau atau selain kau yang ingin kafir dan menolak pesan-pesan Allah, maka biarlah ia kafir, walau sekaya dan setinggi apapun kedudukan sosialnya. Tidaklah saya apalagi Allah swt akan mengalami sedikit kerugian pun dengan kekafirannya, sebaliknya, dialah sendiri yang akan merugi dan celaka dengan perbuatannya yang telah menganiaya dirinya sendiri.
4) Keyakinan bahwa Allah swt. memerintahkan untuk berbuat adil dan mengajak kepada kecerdikan pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Begitu juga Allah swt. mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir. Seperti firman Allah swt. dalam surat Al-Maidah ayat 8
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kau Kaprikornus orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) lantaran Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kau untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, lantaran adil itu lebih akrab kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kau kerjakan.”
Dalam ayat tersebut Allah melarang ummatnya menebar permusuhan dan kebencian terhadap suatu kaum yang yang sanggup mendorong terhadap sikap tidak adil terhadap kaum tersebut. Kaprikornus terhadap merekapun kita harus tetap memberi kesaksian sesuatu dengan hak yang patut mereka terima apabila mereka patut menerimanya. Karena orang mukmin mesti mengutamakan keadilan dari pada berlaku aniaya dan berat sebelah keadilan harus ditempatkan diatas hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan pribadi, dan diatas rasa cinta dan permusuhan, apapun sebabnya.
Beberapa ayat Al-Qur‟an diatas membuktikan ungkapan yang sangat tegas dan gamblang mengenai pandangan Islam terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang merupakan ciri kebebasan insan yang paling utama. Bahkan berdasarkan Sayyid Quthb, kebebasan ini merupakan hak asasi insan yang nomor satu yang tanpanya insan bukan lagi manusia.
Hal ini juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ditengah masyarakat yang heterogen, yang diwarnai ketegangan-ketegangan konflik, nabi melaksanakan gerakan besar yang kuat bagi kesatuan ummah. Pertama, Hijarah, implikasi sosialnya terletak pada persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar. Bukan persaudaraan biasa, kaum anshar melapangkan kekayaanya untuk sanggup dinikmati pula oleh kaum Muhajirin. Kedua, piagam Madinah, ketegangan antara Yahudi dan Muslim, baik Anshar Maupun Muhajirin, begitu pula antar kelompok lain dan juga kemajemukan komunitas Madinah membuat Nabi melaksanakan perundingan dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang kemudian familiar disebut Piagam Madinah konstitusi ditanda tangani oleh seluruh komponen yang ada di Madinah yang mencakup Nasrani, Yahudi, Muslim dan Musyrikin.
Dalam 47 pasal yang termuat di dalamnya statement yang diangkat mencakup problem monotheisme, persatuan kesatuan, persamaan hak, keadilan kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat perdamaian dan proteksi. Konstitusi tersebut memberi tauladan kita perihal pembentukan ummah, menghargai hak asasi insan dan agama lain, persatuan segenap warga negara, dan yang terpenting yakni tanggung jawab membuat kedamaian.
Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai aliran Islam menjadi dasar bagi kekerabatan antar umat insan secara universal, dengan tidak mengenal suku, adat, budaya, dan agama. Akan tetapi yang dihentikan Islam hanya pada konsep aqidah dan ibadah. Kedua konsep tersebut yang tidak sanggup di campuri oleh umat non Islam. Namun aspek sosial kemasyarakatan sanggup bersatu dan kerjasama yang baik.
Perlu ditambahkan bahwa mengakui eksistensi mudah agama-agama lain yang bermacam-macam dan saling berseberangan ini, dalam pandangan Islam tidak secara otomatis mengakui legalitas dan kebenarannya. Melainkan mendapatkan kehendak ontologis Allah swt dalam membuat agama-agama berbeda-beda dan beragam.
Mengakui realitas perbedaan dan hak seorang untuk berbeda sama sekali tidak berarti syari‟at dakwah mesti digugurkan. Bahkan sebaliknya, justru malah semakin menegaskan urgensi dan pentingnya dakwah. Sebab di satu pihak, hakikat perbedaan itu sendiri sejatinya memungkinkan masing-masing faksi yang saling berbeda untuk melihat dirinya sebagai entitas yang mempunyai kelebihan, nilai dan kebenaran, dan untuk melaksanakan hak-haknya, serta untuk mengekspresikan jati dirinya secara bebas sebagai upaya mewujudkan kelebihan, nilai dan kebenaran yang dimilikinya.
Rujukan:
- Sayyid Quthb, Fi Dzilal Al-Qur’an terj, As‟ad Yasin ( Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet, 1,
- Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif, 2005)
Posting Komentar untuk "Landasan Toleransi Beragama Dalam Islam"